Lonjakan kasus kanker serviks di Jawa Timur kini menjadi perhatian serius kalangan medis dan pemerintah daerah. Penyakit yang menyerang leher rahim wanita ini menempati posisi tertinggi sebagai penyebab kematian akibat kanker pada perempuan di Indonesia. Di tengah gencarnya program skrining dan vaksinasi, angka kasus yang justru meningkat menandakan masih ada celah besar dalam edukasi, kesadaran, dan pemerataan layanan kesehatan.
“Ketika angka penyakit bisa dicegah tapi tetap naik, itu artinya masalahnya bukan hanya medis, tapi juga sosial dan budaya,” begitu refleksi saya setelah menelaah data terakhir dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Lonjakan Kasus di Jawa Timur
Data terbaru dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur mencatat, hingga 2024 ada lebih dari 13 ribu kasus kanker serviks di provinsi ini. Angka tersebut menjadikan Jawa Timur sebagai daerah dengan penderita kanker serviks tertinggi secara nasional. Di Kota Surabaya saja, Dinas Kesehatan mencatat sekitar 201 kasus aktif pada tahun 2024, dan sebagian besar ditemukan sudah dalam stadium lanjut.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) bahkan sempat mencatat bahwa prevalensi kanker serviks di Jawa Timur mencapai 0,5 persen dari total populasi perempuan, yang berarti puluhan ribu wanita hidup dengan penyakit ini. Situasi ini tentu menimbulkan kekhawatiran, sebab kanker serviks termasuk jenis kanker yang bisa dicegah sejak dini melalui deteksi dan vaksinasi.
Mengapa Jawa Timur Jadi Daerah Paling Rawan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Jawa Timur menjadi wilayah dengan angka kanker serviks tinggi. Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemeriksaan dini. Program Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) yang disediakan gratis di puskesmas baru diikuti oleh kurang dari 5 persen wanita usia produktif. Padahal skrining ini bisa mendeteksi sel kanker sejak dini.
Kedua, faktor budaya dan psikologis juga berperan besar. Banyak perempuan enggan memeriksakan diri karena merasa malu atau takut hasilnya buruk. Di beberapa daerah, membicarakan masalah reproduksi masih dianggap tabu, sehingga edukasi kesehatan sulit diterima.
Ketiga, infeksi Human Papillomavirus (HPV) yang menjadi penyebab utama kanker serviks juga masih tinggi. Data menunjukkan lebih dari 70 persen kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi virus ini. HPV menular melalui hubungan seksual, dan sayangnya banyak wanita tidak menyadari mereka sudah terpapar hingga penyakit mencapai stadium berat.
“Di beberapa daerah pedesaan, saya melihat langsung masih banyak perempuan yang tidak tahu apa itu kanker serviks, apalagi pentingnya vaksin HPV. Padahal informasi sudah banyak, tapi belum sampai ke mereka,”
Dampak yang Meluas ke Sosial dan Ekonomi
Kanker serviks tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga mengguncang kondisi sosial dan ekonomi keluarga. Banyak penderita yang kehilangan kemampuan bekerja karena pengobatan yang berat dan panjang. Biaya pengobatan yang tinggi menambah tekanan ekonomi terutama bagi keluarga dengan penghasilan rendah.
Menurut studi kesehatan masyarakat, sebagian besar pasien kanker serviks di Jawa Timur datang ke rumah sakit saat sudah berada di stadium III atau IV. Kondisi ini menyebabkan peluang kesembuhan semakin kecil, sementara biaya pengobatan melonjak drastis.
Selain itu, perempuan yang menderita kanker sering menghadapi stigma sosial. Di beberapa lingkungan, penyakit ini masih dianggap sebagai “kutukan” atau akibat perilaku menyimpang, padahal kanker serviks adalah penyakit medis yang bisa menimpa siapa saja.
“Ketika seorang ibu rumah tangga divonis kanker, dampaknya tidak hanya pada dirinya. Anak-anak kehilangan perhatian, ekonomi keluarga goyah, dan psikologis mereka ikut terpukul.”
Upaya Pemerintah: Dari Skrining Hingga Vaksinasi
Pemerintah Jawa Timur sebenarnya sudah menjalankan sejumlah program untuk menekan angka kanker serviks. Program skrining gratis IVA dan Pap Smear digelar rutin di puskesmas dan rumah sakit daerah. Dinas Kesehatan juga menggencarkan vaksinasi HPV gratis bagi anak perempuan usia sekolah dasar kelas 5 dan 6 sebagai langkah pencegahan sejak dini.
Di Kota Surabaya, lebih dari 60 puskesmas telah dilengkapi alat dan tenaga medis untuk melakukan pemeriksaan. Setiap perempuan usia 30–50 tahun yang sudah menikah dianjurkan melakukan skrining minimal dua tahun sekali. Namun, tingkat partisipasi masyarakat masih rendah, bahkan di perkotaan yang informasinya lebih mudah diakses.
Beberapa rumah sakit rujukan seperti RSUD Dr. Soetomo dan RS Onkologi Surabaya juga terus meningkatkan fasilitas perawatan kanker. Namun, masalah utama tetap pada kesadaran masyarakat yang belum tumbuh secara merata.
“Program pemerintah tidak akan efektif jika masyarakat masih memandang skrining sebagai hal menakutkan. Padahal justru deteksi dini membuat peluang sembuh semakin besar.”
Hambatan yang Masih Mengakar
Meski berbagai upaya dilakukan, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak tantangan. Pertama, kurangnya tenaga medis terlatih untuk melakukan skrining massal di daerah-daerah terpencil. Beberapa puskesmas hanya memiliki satu bidan yang harus menangani banyak pasien setiap hari.
Kedua, akses geografis di daerah pedalaman membuat layanan kesehatan sulit dijangkau. Wanita di daerah pegunungan atau kepulauan kecil harus menempuh jarak jauh hanya untuk periksa IVA.
Ketiga, minimnya dukungan keluarga juga menjadi penghalang. Masih banyak suami yang melarang istrinya menjalani pemeriksaan karena dianggap tidak perlu atau tidak sopan.
Selain itu, kurangnya kampanye publik yang konsisten menyebabkan informasi cepat terlupakan. Sosialisasi hanya ramai di bulan tertentu, seperti saat Hari Kanker Sedunia, lalu meredup kembali.
“Selama kesehatan perempuan belum dianggap prioritas oleh keluarga, angka kanker serviks akan terus sulit ditekan,”
Harapan dan Langkah ke Depan
Para ahli kesehatan menegaskan bahwa kanker serviks sebenarnya bisa dicegah 100 persen jika deteksi dilakukan lebih awal dan vaksinasi dilakukan tepat waktu. WHO bahkan menargetkan eliminasi kanker serviks secara global pada 2030, dan Indonesia termasuk negara yang berkomitmen mendukung gerakan ini.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah perlu memperkuat kolaborasi dengan organisasi perempuan, kader posyandu, dan lembaga pendidikan agar edukasi menyentuh semua lapisan masyarakat.
Kampanye vaksinasi HPV juga harus diperluas ke kalangan remaja dan orang tua. Banyak yang masih salah paham menganggap vaksin hanya untuk perempuan yang sudah menikah, padahal vaksin lebih efektif diberikan sebelum aktivitas seksual dimulai.
Selain itu, diperlukan keterlibatan aktif media massa dan influencer lokal untuk menyebarkan pesan positif bahwa kanker serviks bukan aib, melainkan penyakit yang bisa disembuhkan bila ditangani dini.
“Perempuan harus berani memeriksakan diri, sama seperti mereka rutin kontrol kehamilan. Menjaga diri dari kanker serviks adalah bentuk cinta terhadap keluarga.”
Kenapa Semua Perempuan Harus Peduli
Kanker serviks menyerang bagian tubuh yang paling vital dalam kehidupan perempuan. Namun sayangnya, justru banyak yang mengabaikan gejala awal seperti keputihan tidak normal, nyeri panggul, atau perdarahan di luar siklus menstruasi.
Penyakit ini berkembang perlahan, biasanya dalam waktu bertahun-tahun setelah infeksi HPV. Dengan pemeriksaan rutin, sel prakanker bisa diobati sebelum berubah menjadi kanker ganas. Itu sebabnya dokter selalu menekankan pentingnya deteksi dini bagi semua wanita usia produktif.
Kesadaran ini perlu tumbuh bukan hanya di tingkat individu, tetapi juga keluarga dan komunitas. Jika setiap keluarga mendukung ibu, istri, dan anak perempuan mereka untuk melakukan vaksinasi dan skrining, maka Jawa Timur bisa menurunkan angka kasus signifikan dalam lima tahun ke depan.
“Setiap perempuan yang menjaga kesehatannya adalah pelindung bagi generasi berikutnya. Karena perempuan yang sehat akan melahirkan bangsa yang kuat.”
Kasus kanker serviks di Jawa Timur menjadi alarm keras bagi seluruh masyarakat Indonesia. Angka yang meningkat bukan hanya menunjukkan lemahnya sistem kesehatan, tetapi juga rendahnya kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi perempuan. Kini saatnya semua pihak bergerak bersama, karena mencegah lebih mudah daripada mengobati.
