Presiden Joko Widodo kembali menegaskan kekhawatirannya terhadap kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mulai menunjukkan tanda-tanda tidak sehat. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menyebut bahwa dirinya “was-was” anggaran negara bisa jebol akibat membengkaknya belanja negara dan menurunnya penerimaan pajak. Ungkapan ini bukan sekadar peringatan biasa, tetapi refleksi atas kondisi fiskal Indonesia yang tengah berada di persimpangan antara kebutuhan menjaga pertumbuhan ekonomi dan upaya menahan laju defisit.
“Ketika Presiden bicara soal anggaran jebol, itu artinya alarm fiskal sudah berbunyi. Negara harus segera berbenah, bukan hanya untuk menyelamatkan angka-angka di atas kertas, tetapi juga masa depan ekonomi rakyat.”
Latar Belakang: Apa yang Membuat Jokowi Was-Was?
Kekhawatiran Presiden Jokowi terhadap kondisi keuangan negara berawal dari ketidakseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran negara. Dalam laporan keuangan pemerintah, penerimaan pajak mengalami perlambatan, sementara beban belanja negara terus meningkat.
Perlambatan Penerimaan Negara
Menurut laporan Kementerian Keuangan, penerimaan pajak tahun 2024 hanya mencapai sekitar 85% dari target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan ini antara lain:
- Lesunya sektor industri manufaktur dan ekspor.
- Penurunan harga komoditas global yang berdampak pada penerimaan pajak ekspor.
- Kurangnya kepatuhan wajib pajak dan belum optimalnya reformasi perpajakan digital.
Hal ini membuat ruang fiskal pemerintah semakin sempit. Sementara itu, belanja negara justru naik tajam di berbagai sektor.
Membengkaknya Belanja dan Subsidi
Belanja negara melonjak karena banyak program prioritas yang membutuhkan pembiayaan besar, seperti:
- Pembangunan infrastruktur di berbagai daerah.
- Subsidi energi, BBM, dan listrik.
- Bantuan sosial untuk masyarakat miskin.
Berdasarkan data Kemenkeu, subsidi energi saja mencapai lebih dari Rp 500 triliun, naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah yang melemah.
Defisit Anggaran yang Melebar
Gabungan antara penerimaan rendah dan belanja tinggi membuat defisit APBN tahun 2024 melebar hingga Rp 401,8 triliun atau sekitar 2,8% dari PDB. Meski masih di bawah batas aman 3%, angka ini tetap mengkhawatirkan karena tren defisit terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Menurut laporan CNBC Indonesia, ekonom Faisal Basri menyebut APBN terakhir di era Jokowi berpotensi “jebol” karena pembengkakan belanja yang tidak sebanding dengan pendapatan negara. Ia menilai kebijakan fiskal saat ini terlalu ekspansif tanpa perhitungan jangka panjang.
“Pemerintah terlalu percaya diri dengan defisit yang terus melebar, padahal ruang fiskal kita makin sempit. Kalau tidak dikendalikan, APBN akan benar-benar jebol.”
Kebijakan Pemerintah: Antara Harapan dan Tantangan
Presiden Jokowi bersama Kementerian Keuangan telah mengambil sejumlah langkah untuk mengendalikan risiko anggaran jebol. Namun, tantangan besar masih mengintai di setiap kebijakan yang diambil.
Reformasi Pajak dan Digitalisasi Fiskal
Salah satu upaya utama yang dilakukan pemerintah adalah mempercepat reformasi perpajakan. Melalui digitalisasi sistem pajak, diharapkan kepatuhan wajib pajak meningkat dan basis pajak diperluas. Direktorat Jenderal Pajak juga terus mendorong penerapan core tax system untuk memperkuat pengawasan.
Namun, pelaksanaan reformasi ini tidak mudah. Banyak pelaku usaha kecil yang belum terintegrasi dalam sistem pajak digital, sementara sektor informal masih menjadi tantangan besar dalam pendataan.
Pengetatan Belanja Negara
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengeluarkan kebijakan pengetatan belanja nonprioritas, termasuk menunda proyek-proyek yang dianggap tidak mendesak. Pemerintah juga menginstruksikan setiap kementerian untuk melakukan efisiensi minimal 5% dari anggaran operasional mereka.
Selain itu, pemerintah mulai mengarahkan belanja negara ke sektor-sektor yang memiliki multiplier effect besar, seperti pendidikan, kesehatan, dan teknologi hijau.
Evaluasi Subsidi dan Bantuan Sosial
Subsidi menjadi salah satu komponen terbesar dalam struktur APBN. Jokowi menyadari bahwa jika subsidi tidak dikendalikan, beban fiskal akan semakin berat. Pemerintah pun tengah mengkaji ulang skema subsidi energi agar lebih tepat sasaran.
Beberapa opsi yang dipertimbangkan antara lain:
- Menerapkan subsidi berbasis data penerima langsung (direct benefit transfer).
- Mengurangi subsidi untuk masyarakat mampu.
- Meningkatkan pengawasan terhadap distribusi subsidi agar tidak bocor.
“Subsidi seharusnya menjadi jaring pengaman sosial, bukan ladang kebocoran anggaran. Kalau salah sasaran, bukan rakyat yang terbantu, tapi anggaran yang jebol.”
Risiko Jika Anggaran Benar-Benar Jebol
Kekhawatiran Presiden Jokowi memiliki dasar yang kuat. Jika anggaran negara benar-benar jebol, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat luas.
Beban Utang yang Semakin Berat
Defisit yang terus melebar akan membuat pemerintah semakin bergantung pada utang untuk menutup kekurangan anggaran. Saat ini, rasio utang Indonesia sudah mendekati 40% dari PDB. Jika dibiarkan tanpa perbaikan, ruang fiskal untuk pembangunan akan semakin sempit.
Selain itu, pembayaran bunga utang yang meningkat akan menyedot porsi besar dari belanja negara. Kondisi ini bisa menghambat program-program sosial dan pembangunan jangka panjang.
Inflasi dan Kenaikan Harga Barang
Jika pemerintah terpaksa menambah utang atau mencetak uang untuk menutup defisit, maka tekanan inflasi akan meningkat. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok akan menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
Menurut pengamat ekonomi INDEF, inflasi bisa menjadi efek domino yang memperburuk stabilitas sosial jika kebijakan fiskal tidak terkendali.
Penurunan Kepercayaan Investor
Stabilitas fiskal yang goyah dapat menurunkan kepercayaan investor asing. Investor membutuhkan kepastian kebijakan dan kestabilan ekonomi sebelum menanamkan modalnya. Jika defisit dan utang meningkat, investor bisa menilai risiko ekonomi Indonesia terlalu tinggi.
Hal ini akan berdampak pada menurunnya investasi asing langsung (FDI) dan potensi pelarian modal (capital outflow).
Analisis Ekonomi: Antara Ekspansi dan Kehati-hatian
Dalam konteks ekonomi makro, dilema utama yang dihadapi pemerintah adalah menyeimbangkan antara kebijakan ekspansif untuk mendorong pertumbuhan dan kebijakan hati-hati untuk menjaga stabilitas fiskal.
Kebijakan Ekspansif: Pertumbuhan Jangka Pendek
Kebijakan fiskal ekspansif seperti peningkatan belanja infrastruktur dan bantuan sosial memang berhasil menjaga konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Namun, efeknya hanya jangka pendek. Jika tidak diikuti dengan peningkatan penerimaan pajak, maka beban anggaran akan semakin berat.
Kebijakan Ketat: Stabilitas Jangka Panjang
Sebaliknya, kebijakan pengetatan fiskal bisa menjaga defisit tetap aman dan mengendalikan utang. Namun, langkah ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara keduanya.
“Ekonomi negara ibarat perahu. Jika dayung belanja terlalu kuat tanpa memperhatikan arah angin pajak, perahu bisa oleng. Tetapi jika dayung dihentikan, kapal tidak akan maju.”
Rekomendasi Strategis untuk Menjaga APBN Tetap Aman
Beberapa langkah strategis yang dapat diambil pemerintah untuk mencegah risiko jebolnya anggaran negara antara lain:
1. Memperkuat Basis Pajak Nasional
Pemerintah harus memperluas basis pajak dengan mendorong digitalisasi ekonomi dan menertibkan sektor informal. Integrasi data antar lembaga harus diperkuat agar potensi penerimaan dapat dioptimalkan.
2. Mengembangkan Sumber Pendapatan Baru
Selain pajak, pemerintah perlu mencari sumber pendapatan lain seperti optimalisasi BUMN, royalti sumber daya alam, dan pengembangan sektor pariwisata.
3. Melakukan Evaluasi Total terhadap Belanja Publik
Belanja negara harus dievaluasi secara rutin untuk memastikan efisiensi. Setiap program yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat harus dikurangi atau dihentikan.
4. Memperkuat Transparansi dan Akuntabilitas Fiskal
Pemerintah perlu membuka akses data anggaran secara publik agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Transparansi merupakan kunci untuk mengurangi risiko kebocoran dan meningkatkan kepercayaan publik.
5. Menjaga Kerja Sama dengan Bank Indonesia dan DPR
Koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan DPR harus semakin erat. Kebijakan fiskal dan moneter perlu berjalan beriringan agar stabilitas ekonomi terjaga.
Pendapat Pribadi Penulis
“Saya percaya bahwa ucapan Presiden Jokowi bukan sekadar retorika politik, melainkan sinyal bahwa fondasi keuangan negara sedang diuji. Pemerintah harus berani melakukan reformasi fiskal yang menyakitkan, karena lebih baik mencegah jebolnya anggaran sekarang daripada menambal kebocoran di masa depan.”
“Anggaran negara adalah cermin dari kejujuran pengelolaan. Ketika rakyat diminta berhemat, maka negara juga harus memberi teladan dalam efisiensi dan integritas.”
Saatnya Pemerintah Berbenah Sebelum Terlambat
Kekhawatiran Presiden Jokowi tentang potensi jebolnya anggaran negara harus menjadi momentum introspeksi nasional. Pemerintah, DPR, dan masyarakat perlu bersama-sama memastikan bahwa setiap rupiah dalam APBN digunakan secara bijak dan produktif.
Anggaran jebol bukan hanya soal defisit dan angka di neraca keuangan, tetapi soal kepercayaan publik terhadap kemampuan negara mengelola sumber dayanya. Jika kepercayaan itu hilang, maka stabilitas ekonomi dan politik juga akan terancam.
“Jokowi benar untuk was-was, karena ketika uang negara mulai rapuh, yang terancam bukan hanya fiskal, tapi juga masa depan bangsa.”
