MPR Minta Aturan Produk Halal Diimplementasikan: Menjaga Hak Konsumen

Nasional54 Views

Isu mengenai produk halal kembali menjadi sorotan nasional setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI meminta pemerintah agar aturan produk halal segera diimplementasikan secara penuh di seluruh sektor industri. Bagi MPR, kejelasan implementasi aturan ini sangat penting untuk memastikan perlindungan konsumen sekaligus mendorong kemajuan industri halal Indonesia.

“Ketika MPR menegaskan pentingnya penerapan aturan produk halal, itu bukan sekadar pernyataan politik. Ini adalah tuntutan moral dan ekonomi agar negara hadir melindungi umat, tanpa menekan pelaku usaha kecil.”

Permintaan ini muncul di tengah dinamika kesiapan pelaku usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang masih menghadapi berbagai kendala dalam proses sertifikasi halal. Artikel ini akan membahas secara mendalam latar belakang kebijakan halal, posisi MPR, tantangan di lapangan, hingga rekomendasi strategis agar penerapan aturan halal berjalan efektif dan berkeadilan.

Latar Belakang: Pentingnya Implementasi Aturan Produk Halal

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia memiliki tanggung jawab moral dan ekonomi untuk menjamin ketersediaan produk halal bagi masyarakat. Produk halal bukan hanya persoalan keagamaan, tetapi juga merupakan bagian dari hak konsumen.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH)

Regulasi utama mengenai kehalalan produk diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam undang-undang tersebut, ditegaskan bahwa seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.

Pelaksanaan kebijakan ini dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama. Lembaga ini bertugas mengatur sertifikasi halal, bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam proses verifikasi dan fatwa halal.

Waktu Implementasi Tahap Wajib

BPJPH menetapkan 18 Oktober 2024 sebagai batas akhir masa transisi tahap pertama wajib halal untuk produk makanan dan minuman. Artinya, mulai tanggal tersebut, seluruh pelaku usaha di bidang pangan wajib memiliki sertifikat halal untuk produk yang mereka jual.

Namun, menjelang tenggat waktu tersebut, berbagai kendala masih dihadapi di lapangan, terutama oleh pelaku UMKM yang merasa terbebani secara administratif dan finansial.

“Aturan halal bukan hanya soal kepatuhan agama, tetapi juga tentang membangun ekosistem bisnis yang etis, transparan, dan berdaya saing global.”

Sikap MPR terhadap Implementasi Produk Halal

Desakan MPR agar Aturan Segera Diterapkan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menilai bahwa implementasi produk halal masih berjalan lambat dan belum memberikan kepastian bagi masyarakat. Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, menegaskan bahwa pemerintah harus memastikan aturan ini benar-benar dijalankan, bukan hanya diatur dalam undang-undang.

Menurutnya, jaminan produk halal adalah hak konstitusional umat Islam yang harus dilindungi oleh negara. Ia menilai bahwa regulasi halal tidak boleh berhenti di tataran administratif, tetapi harus menyentuh pelaksanaan konkret di lapangan.

Keberpihakan terhadap UMKM

MPR juga menyoroti kekhawatiran para pelaku UMKM yang merasa keberatan dengan biaya dan proses sertifikasi halal. Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, meminta agar pemerintah memastikan kebijakan ini tidak memberatkan sektor UMKM.

Ia menegaskan bahwa sertifikasi halal seharusnya menjadi peluang, bukan hambatan. Pemerintah perlu memberikan pendampingan dan fasilitasi gratis atau bersubsidi agar UMKM bisa memenuhi persyaratan tanpa harus kehilangan daya saing.

“Regulasi halal akan berhasil jika pelaku usaha kecil tidak ditinggalkan. Negara harus hadir bukan untuk menghukum yang belum siap, tapi membantu mereka agar mampu.”

Kolaborasi Lintas Sektor

MPR juga mendorong adanya kolaborasi antara kementerian terkait, pemerintah daerah, lembaga sertifikasi, dan masyarakat. Pendekatan yang inklusif diperlukan agar aturan halal dapat dijalankan secara efektif dan diterima oleh semua kalangan.

Tantangan Implementasi Aturan Produk Halal di Lapangan

Kesiapan UMKM yang Masih Rendah

Kendala terbesar terletak pada kesiapan pelaku usaha mikro dan kecil. Berdasarkan data BPJPH, hingga awal 2024 baru sekitar 3,8 juta UMKM yang telah memperoleh sertifikat halal dari total lebih dari 60 juta pelaku usaha.

Banyak pelaku usaha belum memahami prosedur sertifikasi halal, belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), dan belum memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya sertifikasi.

Kurangnya Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)

Kapasitas lembaga pemeriksa halal juga masih terbatas. Jumlah auditor halal tidak sebanding dengan jumlah pelaku usaha yang harus disertifikasi. Akibatnya, proses verifikasi dan penerbitan sertifikat bisa memakan waktu lama.

Beban Biaya Sertifikasi

Meski pemerintah telah meluncurkan program sertifikasi halal gratis (SEHATI) untuk pelaku usaha mikro, program ini belum mencakup seluruh wilayah. Banyak pelaku usaha di daerah terpencil belum mendapatkan akses dan pendampingan.

Sosialisasi yang Belum Merata

Banyak pelaku usaha yang masih belum memahami pentingnya sertifikasi halal. Sosialisasi yang belum menyeluruh menyebabkan kebingungan dan ketidaksiapan menjelang masa wajib halal.

“Masalah utama bukan ketidakinginan pelaku usaha untuk patuh, tetapi kurangnya akses, pengetahuan, dan pendampingan dari negara.”

Dampak Jika Implementasi Berhasil atau Gagal

Jika Berhasil Dijalankan

Jika pemerintah mampu menjalankan implementasi aturan produk halal secara efektif, Indonesia berpotensi menjadi pusat industri halal dunia. Pasar halal global saat ini mencapai nilai lebih dari USD 2,5 triliun, dan Indonesia bisa menjadi pemain utama.

Selain itu, keberhasilan penerapan aturan halal akan memperkuat kepercayaan konsumen, baik di dalam negeri maupun internasional. Produk Indonesia akan lebih diterima di pasar global, khususnya negara-negara dengan populasi muslim besar seperti Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.

Jika Implementasi Gagal

Namun jika implementasi berjalan lamban dan tidak inklusif, dampaknya bisa berbalik arah. Banyak pelaku UMKM bisa kehilangan pasar karena tidak mampu memenuhi ketentuan halal. Kepercayaan konsumen pun dapat menurun jika produk yang beredar belum memiliki kejelasan status halal.

Selain itu, kegagalan implementasi juga dapat memperburuk citra Indonesia sebagai negara dengan sistem ekonomi syariah yang kuat.

Langkah Strategis agar Aturan Halal Dapat Diterapkan Secara Efektif

Pendampingan dan Pelatihan UMKM

Pemerintah perlu menyiapkan skema pelatihan dan pendampingan yang komprehensif agar UMKM memahami dan mampu mengikuti proses sertifikasi halal. Kolaborasi dengan organisasi keagamaan, perguruan tinggi, dan lembaga swasta bisa menjadi solusi efektif.

Insentif dan Subsidi Sertifikasi

Selain program sertifikasi halal gratis, pemerintah dapat menyediakan subsidi untuk biaya bahan baku, uji laboratorium, dan audit halal bagi pelaku usaha kecil.

Digitalisasi Proses Sertifikasi

Penerapan sistem digital terpadu melalui aplikasi BPJPH dapat mempermudah pelaku usaha mengajukan sertifikat tanpa harus datang langsung ke lembaga terkait. Hal ini juga mempercepat waktu pemrosesan dan mengurangi biaya administrasi.

Perluasan Jaringan Lembaga Pemeriksa Halal

Pemerintah perlu memperbanyak jumlah auditor halal dan membentuk Lembaga Pemeriksa Halal di setiap provinsi agar pemeriksaan berjalan cepat dan terdistribusi merata.

Sosialisasi dan Edukasi Publik

Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya produk halal sangat penting. Edukasi harus mencakup manfaat ekonomi, kesehatan, dan moral dari konsumsi produk halal.

“Masyarakat bukan hanya perlu tahu mana produk halal, tetapi juga mengerti mengapa kehalalan penting bagi kehidupan yang bersih, sehat, dan berkah.”

Potensi Industri Halal Indonesia ke Depan

Jika aturan halal diterapkan dengan baik, industri halal Indonesia bisa menjadi sektor unggulan yang menyerap tenaga kerja dan meningkatkan ekspor. Produk halal mencakup banyak sektor: makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, fashion, pariwisata, hingga keuangan syariah.

Menurut laporan State of the Global Islamic Economy 2024, Indonesia berada di posisi ke-3 dunia untuk potensi pengembangan ekonomi halal, di bawah Malaysia dan Arab Saudi. Namun posisi ini bisa naik jika kebijakan halal dijalankan secara konsisten.

Pendapat Pribadi Penulis

“Saya melihat desakan MPR ini sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap umat dan pelaku usaha. Regulasi halal tidak boleh berhenti pada kata-kata, tetapi harus diwujudkan dengan kerja nyata, empati, dan dukungan yang adil bagi semua.”

“Negara seharusnya tidak menakuti pelaku usaha dengan sanksi, tetapi menguatkan mereka dengan pendampingan. Karena keberhasilan ekonomi halal bukan diukur dari banyaknya aturan, tapi dari banyaknya rakyat yang mampu mematuhinya dengan gembira.”

Dari Regulasi Menuju Implementasi Nyata

Desakan MPR agar aturan produk halal segera diimplementasikan adalah momentum penting bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusannya menjadi pusat industri halal dunia. Namun keberhasilan implementasi ini sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.

Pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi dijalankan secara inklusif dan tidak diskriminatif. Pelaku usaha, terutama UMKM, harus diperlakukan sebagai mitra, bukan objek kebijakan. Dan masyarakat harus dilibatkan aktif dalam pengawasan serta edukasi produk halal.

“Produk halal bukan hanya label pada kemasan. Ia adalah bentuk kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen bangsa terhadap nilai-nilai luhur yang diyakininya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *