DPR RI Akan Panggil Dirut Pelindo II: Sorotan Terhadap Transparansi BUMN Pelabuhan

Nasional60 Views

Pemanggilan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) oleh DPR RI menjadi isu yang ramai diperbincangkan dalam dunia bisnis dan politik nasional. Pemanggilan ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyentuh jantung tata kelola logistik nasional dan integritas pengelolaan BUMN strategis. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara komprehensif latar belakang kasus, isu yang dipertanyakan DPR, tanggapan Pelindo II, serta dampak yang mungkin terjadi terhadap sektor pelabuhan dan perekonomian Indonesia.

“Ketika sebuah BUMN strategis yang mengelola urat nadi logistik nasional dipanggil DPR bukan karena prestasi, tetapi karena persoalan transparansi, maka yang sedang diuji bukan hanya kredibilitas direksinya, tetapi juga sistem pengawasan negara.”

Latar Belakang Pemanggilan Dirut Pelindo II oleh DPR

Pemanggilan ini muncul setelah DPR menemukan sejumlah persoalan dalam tata kelola dan operasional Pelindo II. Sebagai perusahaan pelabuhan terbesar di Indonesia, Pelindo II memiliki peran vital dalam perdagangan dan ekspor-impor nasional.

Posisi Strategis Pelindo II dalam Perekonomian Nasional

Pelindo II merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola 12 pelabuhan besar di Indonesia bagian barat, termasuk Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, yang menjadi gerbang utama perdagangan Indonesia. Lebih dari 60 persen arus peti kemas nasional melewati pelabuhan ini.

Dengan posisi strategis tersebut, kinerja Pelindo II sangat berpengaruh terhadap biaya logistik, efisiensi ekspor, dan daya saing nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai persoalan yang mengundang sorotan DPR.

Latar Masalah yang Mendorong Pemanggilan

Komisi VI DPR RI memanggil Direktur Utama Pelindo II karena sejumlah isu krusial, seperti:

  • Perpanjangan kontrak pengelolaan terminal peti kemas dengan pihak asing tanpa persetujuan pemerintah.
  • Dugaan pelanggaran Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 terkait pengelolaan pelabuhan.
  • Masalah dwelling time atau lamanya waktu bongkar muat di pelabuhan yang berdampak pada tingginya biaya logistik.
  • Konflik internal dan indikasi ketidakharmonisan dalam jajaran direksi.

Reaksi Awal DPR

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI menyebut bahwa pemanggilan ini bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk evaluasi serius terhadap BUMN strategis yang mengelola aset negara. DPR menilai bahwa Pelindo II tidak bisa hanya mengandalkan statusnya sebagai korporasi, tetapi juga harus mematuhi prinsip akuntabilitas publik.

“BUMN bukan sekadar perusahaan yang mencari laba, tetapi instrumen negara untuk melayani publik. Ketika pelabuhan sebagai tulang punggung ekonomi justru dikelola tanpa keterbukaan, maka DPR wajib turun tangan.”

Isu Utama yang Disoroti DPR

Berbagai sumber menyebutkan bahwa ada tiga isu besar yang menjadi sorotan utama dalam pemanggilan Dirut Pelindo II.

1. Permasalahan Konsesi Terminal Peti Kemas

Salah satu isu yang paling kontroversial adalah perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan perusahaan asing tanpa izin dari Kementerian Perhubungan. DPR menilai langkah ini melanggar Undang-Undang Pelayaran karena Pelindo II bukan regulator, melainkan operator.

Kritik tajam muncul karena kontrak tersebut dianggap berpotensi mengurangi kedaulatan negara di sektor pelabuhan. DPR menyoroti bahwa pelabuhan adalah objek vital nasional yang seharusnya dikelola secara penuh oleh negara, bukan oleh perusahaan asing.

2. Dwelling Time dan Efisiensi Operasional

Masalah lain yang diangkat adalah lamanya proses dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok. Meskipun pemerintah telah menargetkan waktu bongkar muat hanya tiga hari, di lapangan masih ditemukan proses yang bisa mencapai lebih dari lima hari.

DPR menilai bahwa keterlambatan ini menunjukkan lemahnya koordinasi antara Pelindo II, Bea Cukai, dan instansi terkait. Akibatnya, biaya logistik meningkat dan berpengaruh langsung terhadap harga barang kebutuhan pokok di masyarakat.

3. Konflik Internal dan Tata Kelola BUMN

Selain persoalan teknis, DPR juga menyoroti adanya konflik internal dalam tubuh manajemen Pelindo II. Beberapa tahun sebelumnya, 21 pejabat Pelindo II mengundurkan diri secara massal karena diduga tidak sepakat dengan kebijakan direksi.

Kondisi ini dianggap mencerminkan lemahnya tata kelola internal dan menciptakan ketidakstabilan di tubuh BUMN. DPR menilai bahwa konflik semacam ini harus ditangani secara serius agar tidak berdampak pada kinerja perusahaan.

Respons Pelindo II: Klarifikasi dan Pembelaan

Direktur Utama Pelindo II yang dipanggil oleh DPR menegaskan bahwa perusahaan sedang menjalankan transformasi besar untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing pelabuhan Indonesia.

Penjelasan Terkait Perpanjangan Konsesi

Manajemen Pelindo II menyatakan bahwa perpanjangan konsesi JICT dilakukan untuk menjamin keberlanjutan operasional dan investasi di pelabuhan. Dirut menyebut bahwa semua proses sudah melalui kajian bisnis dan legal formal.

Namun DPR menilai alasan tersebut belum cukup kuat. Mereka menuntut Pelindo II menunjukkan bukti izin resmi dari Kementerian Perhubungan dan laporan kepada Kementerian BUMN.

Soal Dwelling Time

Terkait isu dwelling time, Pelindo II menjelaskan bahwa persoalan tersebut bukan semata-mata tanggung jawab perusahaan, karena melibatkan banyak instansi. Pelindo II mengklaim sudah melakukan digitalisasi proses bongkar muat untuk mempercepat arus logistik.

Meski demikian, DPR menegaskan bahwa sebagai pengelola pelabuhan utama, Pelindo II tetap memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan pelabuhan beroperasi efisien.

Mengenai Konflik Internal

Menanggapi isu konflik internal, Dirut Pelindo II menyebut bahwa perbedaan pendapat dalam organisasi besar adalah hal yang wajar. Namun, DPR tetap meminta audit menyeluruh terhadap manajemen agar tidak ada penyalahgunaan wewenang.

“Transformasi tidak boleh dijadikan alasan untuk menyingkirkan prinsip transparansi. Jika Pelindo II ingin menjadi perusahaan modern, maka modernitas itu harus dibangun di atas integritas.”

Tanggapan DPR dan Publik

DPR RI, melalui Komisi VI, menegaskan bahwa pemanggilan ini bukan sekadar klarifikasi, tetapi bentuk pengawasan legislatif terhadap BUMN. Beberapa anggota DPR bahkan menyatakan siap membentuk Panitia Khusus (Pansus Pelindo II) jika ditemukan pelanggaran serius.

DPR Menilai Penjelasan Dirut Belum Memadai

Dalam rapat dengar pendapat, sejumlah anggota DPR menyebut penjelasan Pelindo II masih bersifat normatif. Mereka menilai bahwa data dan dokumen pendukung yang diberikan belum menjawab substansi masalah.

Reaksi Publik dan Dunia Usaha

Publik menyambut baik langkah DPR untuk mengawasi Pelindo II. Banyak pengamat menilai bahwa sektor pelabuhan selama ini menjadi area rawan praktik monopoli dan rente ekonomi. Dengan adanya pemanggilan ini, diharapkan ada transparansi lebih tinggi.

Namun, sebagian pihak juga mengingatkan agar DPR tidak menjadikan pemanggilan ini sebagai agenda politik semata. Dunia usaha berharap keputusan yang diambil nantinya fokus pada perbaikan sistem, bukan sekadar pergantian pejabat.

Dampak Terhadap Sektor Pelabuhan dan Ekonomi Nasional

Pemanggilan Dirut Pelindo II oleh DPR memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi publik dan arah kebijakan ekonomi ke depan.

Dampak terhadap Kepercayaan Investor

Isu tata kelola di Pelindo II bisa memengaruhi kepercayaan investor terhadap stabilitas sektor pelabuhan Indonesia. Investor membutuhkan kepastian hukum dan transparansi agar tidak ragu menanamkan modalnya.

Jika permasalahan ini tidak segera diselesaikan, ada risiko penundaan investasi pada proyek-proyek strategis seperti pengembangan Pelabuhan Patimban dan perluasan Terminal Kalibaru.

Efek terhadap Efisiensi Logistik Nasional

Sebagai pelabuhan terbesar, Tanjung Priok berperan penting dalam menurunkan biaya logistik nasional. Setiap keterlambatan dan ketidakefisienan akan berdampak langsung terhadap biaya distribusi barang dan harga konsumen.

Keterbukaan informasi dan pembenahan sistem manajemen di Pelindo II menjadi syarat penting untuk memperbaiki rantai pasok nasional.

Implikasi terhadap Tata Kelola BUMN

Kasus ini juga menjadi pengingat bagi BUMN lain agar memperkuat tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas. DPR menilai pengawasan terhadap BUMN harus diperketat agar tidak ada lagi kebijakan yang melanggar prinsip-prinsip good corporate governance (GCG).

Rekomendasi untuk Perbaikan

Beberapa langkah strategis yang direkomendasikan oleh para pengamat dan DPR untuk memperbaiki situasi antara lain:

1. Audit Menyeluruh oleh BPK dan Kementerian BUMN

Audit independen perlu dilakukan terhadap kontrak dan kebijakan manajemen Pelindo II, terutama terkait konsesi dan proyek investasi besar. Hasil audit harus diumumkan ke publik.

2. Reformasi Regulasi Pelayaran

Pemerintah perlu meninjau ulang Undang-Undang Pelayaran dan memperjelas batas antara fungsi regulator dan operator di sektor pelabuhan, agar konflik kepentingan tidak terjadi lagi.

3. Penguatan Fungsi DPR sebagai Pengawas

DPR harus memastikan bahwa hasil pemanggilan tidak berhenti pada rapat dengar pendapat, tetapi diikuti dengan rekomendasi kebijakan yang jelas dan dapat diukur.

4. Digitalisasi Proses Logistik

Digitalisasi sistem pelabuhan perlu dipercepat agar semua proses impor, ekspor, dan bongkar muat dapat dipantau secara transparan dan akuntabel.

Pendapat Pribadi Penulis

“Saya melihat langkah DPR memanggil Dirut Pelindo II adalah langkah penting untuk menjaga integritas BUMN. Namun, jangan sampai pemanggilan ini berakhir tanpa hasil konkret. Transparansi dan reformasi adalah dua hal yang harus berjalan beriringan.”

“Pelindo II seharusnya menjadi simbol kemajuan logistik nasional, bukan simbol dari tumpukan masalah administrasi. Negara membutuhkan pemimpin BUMN yang tidak hanya pandai berbisnis, tetapi juga berani menjaga integritas publik.”

Kesimpulan: Saatnya Tata Kelola BUMN Berbenah

Kasus pemanggilan Dirut Pelindo II oleh DPR menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem pengelolaan BUMN di sektor pelabuhan. Ia menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan.

Langkah DPR perlu diapresiasi, tetapi hasil akhirnya harus konkret: reformasi tata kelola, audit terbuka, dan peningkatan efisiensi logistik nasional. Hanya dengan itu kepercayaan publik terhadap BUMN bisa kembali tumbuh.

“Transparansi bukan pilihan, melainkan keharusan bagi setiap BUMN yang mengelola aset negara. Ketika integritas menjadi pondasi, maka pelabuhan bukan lagi sekadar pintu perdagangan, tetapi juga cerminan kemajuan bangsa.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *