Buku Mapel Kewarganegaraan SMK Islam Walisongo Diprotes

Mojokerto50 Views

Kabar mengejutkan datang dari Mojokerto, Jawa Timur. Sebuah buku pelajaran Kewarganegaraan yang digunakan di SMK Islam Walisongo menuai protes dari siswa dan masyarakat. Buku yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai kebangsaan justru menimbulkan kontroversi karena memuat gambar yang dianggap tidak pantas dan menyinggung simbol negara.

Awal Mula Kontroversi di SMK Islam Walisongo

Kasus ini mencuat ketika para siswa kelas XI SMK Islam Walisongo menerima buku pelajaran Kewarganegaraan yang diterbitkan oleh CV Aviva. Salah satu siswa, Putra Setiawan, mengaku terkejut melihat gambar pada sampul buku tersebut. Gambar itu menampilkan sosok burung Garuda dengan posisi tidak lazim, sayap terbuka lebar seolah sedang menari, dan mencengkeram tiang dengan bendera merah putih di ujungnya.

Putra kemudian menyampaikan keluhannya kepada pihak sekolah karena menurutnya, posisi Garuda dalam gambar tersebut terkesan melecehkan lambang negara. Ia berkata dengan nada serius,

“Garuda itu lambang negara, harusnya tegak dan gagah. Tapi di buku ini malah tampak seperti sedang menari. Saya merasa itu kurang pantas.”

Tak berhenti di situ, siswa lain juga mempermasalahkan gambar pada buku Kewarganegaraan kelas X yang memuat foto tiga anak kecil tanpa busana lengkap sedang mengibarkan bendera merah putih di air terjun. Gambar ini menimbulkan perdebatan apakah pantas dimasukkan dalam buku pelajaran, terlebih pada mapel yang mengajarkan tentang etika dan moral kebangsaan.

Tanggapan Pihak Sekolah

Menanggapi keresahan siswa, Kepala Sekolah SMK Islam Walisongo, Sucahyo Muji Raharjo, segera melakukan koordinasi internal. Ia menyebut bahwa pihaknya tidak mengetahui isi buku secara mendalam sebelum buku tersebut disebarkan kepada siswa. Buku tersebut dibeli secara kolektif dengan harga sekitar Rp6.500 per eksemplar sebagai bahan ajar tambahan.

Sucahyo menjelaskan bahwa sekolah sudah melaporkan kejadian ini kepada Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Swasta Mojokerto agar ada klarifikasi dari pihak penerbit. Namun hingga laporan itu disampaikan, belum ada tindak lanjut resmi.

Ia menambahkan, guru-guru pun merasa tidak nyaman menghadapi protes siswa dan orang tua yang mempertanyakan kelayakan buku tersebut. “Kami tentu tidak ingin bahan ajar justru menimbulkan polemik di lingkungan pendidikan,” ujarnya.

Klarifikasi dari Penerbit Buku

Pihak penerbit CV Aviva akhirnya buka suara. Angela, manajer pra-cetak penerbit tersebut, menegaskan bahwa gambar burung Garuda di sampul bukanlah lambang negara, melainkan ilustrasi burung Garuda asli yang sedang terbang. Menurutnya, desain itu dipilih agar tampilan buku lebih dinamis dan menarik.

Angela mengatakan,

“Kami menggunakan gambar Garuda asli yang sedang mengepakkan sayap, bukan lambang negara. Tujuannya supaya tampilannya berbeda, bukan untuk melecehkan simbol negara.”

Namun demikian, Angela menyatakan bahwa pihaknya siap menarik buku tersebut dari peredaran jika memang dianggap menyinggung. Ia menambahkan, sejauh ini baru SMK Islam Walisongo yang menyampaikan protes secara resmi.

Reaksi Publik dan Media

Kasus ini cepat menyebar di media sosial dan pemberitaan lokal. Banyak warganet menilai bahwa penerbit kurang sensitif terhadap simbol kenegaraan. Sejumlah komentar menyebut bahwa meski bukan lambang negara secara formal, penggunaan simbol yang mirip Garuda harus melalui pertimbangan etika dan nasionalisme.

Bagi sebagian masyarakat, buku pelajaran bukan hanya media belajar, tetapi juga sarana membentuk karakter kebangsaan. Karena itu, tampilan dan isi buku sangat penting mencerminkan nilai-nilai moral dan penghormatan terhadap lambang negara.

Salah satu guru di sekolah itu bahkan berkomentar,

“Kita mengajarkan anak-anak untuk mencintai simbol negara. Kalau di buku malah ada gambar yang menimbulkan salah tafsir, tentu menimbulkan kebingungan.”

Isu Pengawasan Buku Pendidikan

Kasus di SMK Islam Walisongo membuka kembali diskusi lama tentang lemahnya pengawasan terhadap buku pelajaran di sekolah. Banyak sekolah swasta, terutama yang kecil, membeli buku penunjang dari penerbit independen tanpa proses kurasi yang ketat dari dinas pendidikan.

Idealnya, setiap buku pelajaran harus melalui tahap validasi, baik dari sisi isi maupun desain, sebelum beredar luas. Pengawasan ini penting untuk mencegah kesalahan yang bisa menyinggung nilai-nilai sosial, budaya, atau nasional.

Dalam konteks ini, kasus buku Kewarganegaraan tersebut menunjukkan bahwa masih ada celah dalam sistem distribusi buku pendidikan di Indonesia.

Menurut pandangan penulis,

“Buku pelajaran adalah wajah pendidikan bangsa. Bila desain dan isinya tidak sensitif terhadap nilai nasional, maka tujuan pendidikan karakter bisa kehilangan makna.”

Nilai Nasionalisme di Tengah Arus Komersialisasi

Buku pelajaran kini tidak hanya diterbitkan oleh pemerintah melalui Kemdikbud, tetapi juga oleh banyak penerbit swasta. Persaingan pasar membuat penerbit berlomba membuat desain yang lebih menarik agar laku di pasaran. Namun dalam proses kreatif itu, kadang unsur kehati-hatian terhadap simbol negara dan nilai kebangsaan terabaikan.

Bagi banyak pihak, insiden di Mojokerto ini menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak boleh terjebak pada aspek komersial semata. Buku ajar harus tetap mengedepankan nilai moral, kesopanan, dan nasionalisme di atas semua hal.

Sikap yang Diharapkan dari Sekolah dan Pemerintah

Pihak sekolah diharapkan dapat lebih berhati-hati memilih bahan ajar. Pemerintah melalui dinas pendidikan juga sebaiknya memperketat pengawasan terhadap buku-buku penunjang, terutama untuk mata pelajaran yang menyangkut ideologi dan moral bangsa seperti Kewarganegaraan.

Langkah sederhana seperti melakukan penilaian konten sebelum buku digunakan dapat mencegah munculnya kasus serupa. Sementara bagi penerbit, evaluasi desain dan isi perlu dilakukan melalui konsultasi dengan tenaga ahli bidang pendidikan dan budaya.

Kasus ini memang tampak sepele pada permukaan, tetapi menyimpan pesan penting tentang bagaimana nilai simbolik bangsa harus dijaga dengan serius, bahkan pada hal sekecil sampul buku sekolah.

“Nasionalisme tidak hanya diajarkan lewat teks, tapi juga melalui penghormatan terhadap simbol-simbol kecil yang menjadi identitas bangsa,” tulis penulis.

Harapan di Balik Kontroversi

Meski kontroversi ini sempat menimbulkan keresahan, banyak pihak berharap peristiwa ini dapat menjadi momentum perbaikan sistem penerbitan dan distribusi buku pendidikan. SMK Islam Walisongo juga menjadi contoh sekolah yang berani menyuarakan keprihatinan atas hal yang tampak kecil, tetapi berdampak besar terhadap nilai-nilai kebangsaan.

Dari sini terlihat bahwa kesadaran kritis siswa terhadap isi buku pelajaran semakin meningkat. Mereka tidak lagi pasif menerima materi, melainkan aktif menilai apakah buku yang diberikan sesuai dengan nilai moral dan nasional yang diajarkan di sekolah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *