Perjuangan Warga Tuban Demi Mendapatkan Air Bersih

Jatim64 Views

Kabupaten Tuban, Jawa Timur dikenal sebagai wilayah dengan pesona alam yang indah sekaligus kekayaan sumber daya alamnya. Namun di balik kemegahan itu, masih tersimpan satu persoalan klasik yang terus membayangi sebagian warganya, yakni kesulitan mendapatkan air bersih yang layak untuk dikonsumsi.

Ketika musim kemarau datang, sebagian masyarakat Tuban harus berjuang ekstra keras. Mereka bukan hanya menunggu hujan, tetapi juga menunggu datangnya truk tangki pembawa air bersih. Di beberapa desa, air bersih menjadi barang berharga yang nilainya setara dengan kebutuhan pokok lain seperti beras dan minyak goreng.

“Air bersih bagi warga Tuban bukan sekadar kebutuhan dasar, tapi juga lambang harapan yang tak pernah padam di tengah panasnya musim kemarau.”


Gambaran Umum Kondisi Air Bersih di Tuban

Ketersediaan air bersih di Kabupaten Tuban memang telah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Dinas PUPR-PRKP Tuban, tingkat pemenuhan kebutuhan air bersih mencapai 83,19 persen pada tahun 2021, meningkat menjadi 90,86 persen pada tahun 2022, dan kembali naik ke 91,52 persen di tahun 2023.

Namun di balik angka itu, sekitar 8 persen warga Tuban masih belum menikmati air bersih yang memadai. Jika diproyeksikan terhadap jumlah penduduk Tuban yang mencapai lebih dari 1,2 juta jiwa, maka berarti ada puluhan ribu warga yang masih hidup tanpa akses air bersih yang layak.

Desa-desa seperti Bader, Ngandong, Grabagan, dan Sumberejo termasuk di antara wilayah yang paling rentan terhadap kekeringan. Ketika musim hujan berlalu, sumur-sumur mereka cepat mengering dan jaringan air perpipaan tidak selalu menjangkau rumah-rumah penduduk.


Akar Masalah Kekurangan Air Bersih

Kondisi Geografis yang Menantang

Sebagian besar wilayah Tuban memiliki kontur tanah kapur yang sulit menyimpan cadangan air bawah tanah. Inilah salah satu alasan mengapa banyak sumur warga cepat kering di musim kemarau. Selain itu, letak geografis yang jauh dari sumber air permukaan seperti sungai besar menambah kompleksitas persoalan.

Kondisi ini membuat warga di beberapa desa harus menempuh perjalanan hingga beberapa kilometer hanya untuk mendapatkan beberapa jeriken air. Mereka menyebutnya sebagai kegiatan “ngangsu”, tradisi lama yang kini menjadi rutinitas penuh perjuangan setiap kemarau datang.

Infrastruktur yang Belum Merata

Walaupun proyek pembangunan jaringan pipa air bersih sudah digalakkan, kenyataannya belum semua wilayah merasakan manfaatnya. Beberapa desa di bagian selatan dan barat Tuban masih belum memiliki sambungan air rumah tangga.

Jaringan air dari PDAM atau sumber utama sering kali berhenti di desa tetangga, sementara warga di ujung wilayah harus menunggu giliran air lewat pipa kecil atau membeli air dari tangki keliling. Ini menyebabkan biaya hidup meningkat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan pola cuaca membuat musim kemarau di Tuban semakin panjang dan tak menentu. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tuban, meski beberapa tahun terakhir disebut sebagai “kemarau basah”, tetap saja banyak wilayah yang mengalami kekeringan. Hal ini terjadi karena curah hujan tidak merata dan tidak cukup untuk mengisi kembali sumber air tanah.

“Ketika air menjadi langka, setiap tetesnya adalah hasil kerja keras, bukan sekadar anugerah alam.”


Kisah Nyata Perjuangan Warga

Antrean Panjang di Desa Bader

Di Desa Bader, Kecamatan Jatirogo, antrean jeriken warna-warni di pinggir jalan menjadi pemandangan yang biasa setiap kali truk tangki air bersih datang. Warga harus menunggu sejak pagi dengan membawa wadah dari rumah, berharap mendapat jatah beberapa liter air untuk kebutuhan sehari-hari.

Seorang warga bernama Suyati mengaku, dalam sehari keluarganya hanya bisa menggunakan dua jeriken air untuk semua keperluan, mulai dari memasak hingga mencuci. “Kadang harus hemat sekali. Kalau air habis sebelum tangki datang lagi, ya kami harus menunggu,” ujarnya lirih.

Perjuangan di Grabagan

Kisah serupa juga terjadi di Kecamatan Grabagan. Warga di sana bahkan harus membeli air tangki dengan harga mencapai Rp150.000 untuk satu kali isi. Harga itu cukup memberatkan, terutama bagi petani dan buruh harian.

Sementara itu, beberapa warga lainnya memilih menggali sumur baru setiap tahun, berharap bisa menemukan sumber air yang lebih stabil. Namun sering kali, upaya itu sia-sia karena air cepat habis atau kualitasnya keruh dan asin.


Upaya Pemerintah dan Lembaga Sosial

Program Pemerintah Daerah

Pemerintah Kabupaten Tuban tidak tinggal diam menghadapi persoalan ini. Dinas PUPR bersama PDAM terus berupaya memperluas jaringan perpipaan dan membangun sumur bor di desa-desa rawan kekeringan. Selain itu, BPBD Tuban juga aktif menyalurkan bantuan air bersih ke wilayah terdampak setiap kali musim kemarau datang.

Pada tahun 2024 misalnya, BPBD mencatat lebih dari 20 desa yang menerima distribusi air tangki secara rutin. Setiap desa mendapat jatah antara 5 hingga 10 tangki per minggu, tergantung tingkat keparahan kekeringan.

Namun, karena keterbatasan armada dan anggaran, tidak semua permintaan dapat segera dipenuhi. Terkadang warga harus menunggu beberapa hari sebelum air bersih datang ke desanya.

Bantuan dari Organisasi Masyarakat

Selain pemerintah, sejumlah organisasi juga ikut turun tangan. BAZNAS Kabupaten Tuban, NU Care-LAZISNU, dan relawan dari berbagai komunitas sosial kerap mengadakan kegiatan “droping air” bagi warga yang membutuhkan.

Pada tahun 2023, BAZNAS mencatat telah menyalurkan lebih dari 40 tangki air ke wilayah Grabagan dan Jatirogo. Di sisi lain, komunitas pemuda di beberapa desa juga menginisiasi program “Tandon Bersama”, di mana warga patungan membeli air dalam jumlah besar untuk dibagi rata.

“Semangat gotong royong warga Tuban membuktikan bahwa solidaritas bisa menjadi sumber air kedua di tengah kekeringan.”


Dampak Sosial dan Ekonomi

Krisis air bersih tidak hanya menimbulkan kesulitan dalam kehidupan rumah tangga, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi. Aktivitas seperti mencuci pakaian, memasak, dan mandi menjadi terbatas. Anak-anak sering kali harus membantu orang tua mengambil air sehingga waktu belajar mereka berkurang.

Dari sisi ekonomi, warga yang harus membeli air tangki mengeluarkan biaya tambahan setiap bulan. Jika diasumsikan satu tangki air berharga Rp150.000 dan dibutuhkan minimal dua kali seminggu, maka dalam sebulan mereka harus mengeluarkan sekitar Rp1,2 juta hanya untuk air.

Bagi keluarga dengan penghasilan rata-rata Rp2 juta per bulan, biaya tersebut jelas sangat membebani. Tidak jarang mereka harus mengorbankan kebutuhan lain demi memastikan air tetap tersedia di rumah.


Peran Relawan dan Inovasi Lokal

Di tengah keterbatasan, beberapa warga mulai melakukan inovasi sederhana. Ada yang memanfaatkan air hujan dengan membuat tandon permanen, ada pula yang menggunakan teknologi penyaringan manual untuk mengubah air keruh menjadi layak pakai.

Relawan dari kalangan mahasiswa dan pemuda desa juga aktif mengedukasi warga tentang pentingnya konservasi air, menanam pohon di sekitar sumur, dan memperbaiki sistem irigasi lokal agar air tidak terbuang sia-sia.

Kegiatan ini memang kecil skalanya, tetapi dampaknya besar. Lambat laun, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga sumber air mulai meningkat.


Tantangan yang Masih Dihadapi

Meski berbagai upaya telah dilakukan, perjuangan warga Tuban masih jauh dari selesai. Beberapa tantangan besar yang masih perlu diatasi antara lain:

  1. Keterbatasan Infrastruktur Permanen
    Sebagian besar bantuan air bersih masih bersifat darurat. Solusi jangka panjang seperti jaringan pipa dan sumur dalam belum bisa menjangkau seluruh wilayah.
  2. Kualitas Air yang Buruk
    Di beberapa lokasi, air tanah mengandung kadar kapur dan garam yang tinggi sehingga tidak layak untuk diminum. Proses penyaringan tambahan dibutuhkan agar air bisa aman dikonsumsi.
  3. Pendanaan yang Terbatas
    Pemerintah daerah menghadapi kendala anggaran untuk memperluas layanan air bersih. Sementara itu, swasta dan lembaga sosial belum sepenuhnya mampu mengisi kekosongan tersebut.
  4. Kurangnya Kesadaran Pengelolaan Air
    Beberapa warga masih menggunakan air secara boros ketika bantuan datang. Edukasi berkelanjutan dibutuhkan agar masyarakat lebih bijak dalam penggunaan air bersih.

“Air tidak bisa hanya diperlakukan sebagai sumber daya ekonomi, tapi harus dijaga sebagai warisan kehidupan bagi generasi berikutnya.”


Harapan Warga untuk Masa Depan

Harapan utama warga Tuban sederhana: mereka ingin air mengalir di rumah setiap hari tanpa harus menunggu truk tangki. Mereka ingin anak-anaknya bisa mandi sebelum sekolah tanpa harus bergantian menunggu ember penuh.

Pemerintah pusat dan daerah diharapkan memperkuat kerja sama lintas sektor untuk mempercepat pembangunan infrastruktur air bersih. Dukungan dari swasta melalui program tanggung jawab sosial (CSR) juga bisa menjadi alternatif solusi.

Selain itu, lembaga pendidikan dan komunitas lokal perlu terus mengedukasi masyarakat agar memahami pentingnya menjaga sumber air dan menggunakan air secara efisien. Dengan kombinasi kebijakan yang tepat dan kesadaran bersama, persoalan air bersih di Tuban bukanlah hal yang mustahil untuk diselesaikan.

“Ketika air mulai mengalir di setiap rumah, maka yang mengalir sebenarnya bukan sekadar air, tetapi juga harapan dan kehidupan yang lebih layak bagi warga Tuban.”