Manajemen RSUD yang Saling Lempar Tanggung Jawab

Jatim73 Views

Rumah sakit umum daerah (RSUD) seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus menunjukkan adanya kelemahan serius dalam sistem manajemennya. Fenomena “saling lempar tanggung jawab” menjadi isu yang kerap muncul di berbagai daerah dan memunculkan pertanyaan besar tentang transparansi dan profesionalisme pengelolaan rumah sakit pemerintah.

Masalah ini bukan sekadar tentang siapa yang salah, melainkan bagaimana sistem birokrasi dan manajemen rumah sakit berjalan tanpa arah kepemimpinan yang kuat. Ketika tanggung jawab kabur dan keputusan tidak jelas, yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan.

Kekacauan Struktur dan Ketidaktegasan Manajemen

Sebagian besar RSUD memiliki struktur organisasi yang kompleks. Ada direktur utama, wakil direktur bidang keuangan, bidang pelayanan, bidang umum, serta sejumlah kepala bagian dan unit teknis. Dalam teori, struktur ini diharapkan mampu memperjelas tugas dan tanggung jawab masing-masing. Namun di lapangan, kenyataannya berbeda jauh.

Kerap kali ketika muncul persoalan keuangan, keterlambatan pelayanan, atau sistem administrasi yang bermasalah, antarbidang justru saling melempar tanggung jawab. Direksi menunjuk bagian keuangan, bagian keuangan menunjuk pengelola lama, sementara pengelola lama merasa sudah tidak lagi berwenang.

“Sebuah organisasi tidak akan pernah stabil jika setiap masalah selalu dicarikan kambing hitam, bukan dicari jalan keluarnya.”

Contoh Kasus: Dana RSUD Chasan Boesoirie yang Hilang Arah

Salah satu kasus yang sempat mencuat adalah di RSUD Chasan Boesoirie, Ternate. Dana senilai miliaran rupiah dari klaim BPJS dan insentif jasa pelayanan Covid-19 dilaporkan tidak jelas penyalurannya. Saat diminta pertanggungjawaban, pihak manajemen justru saling menunjuk siapa yang harus menjelaskan. Mantan bendahara disebut bertanggung jawab, namun manajemen lama tidak memberikan laporan yang lengkap.

Situasi seperti ini menunjukkan betapa lemahnya kontrol internal dalam pengelolaan keuangan publik. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan tenaga kesehatan justru terjebak dalam pusaran saling tuding.

Contoh Kasus: Sistem Informasi Rumah Sakit yang Lumpuh di Mukomuko

Di Provinsi Bengkulu, RSUD Mukomuko juga mengalami situasi serupa. Sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) yang semestinya menjadi tulang punggung pelayanan digital justru lumpuh. Direktur mengatakan sistem itu tanggung jawab pengelola lama, sementara pengelola lama menilai tanggung jawab sudah beralih ke manajemen baru. Akibatnya, pencatatan data pasien dan administrasi dilakukan secara manual selama berbulan-bulan.

Bayangkan bagaimana kekacauan yang terjadi ketika rumah sakit tidak memiliki sistem informasi yang berfungsi. Pelayanan melambat, antrian panjang, dan risiko kesalahan data pasien meningkat drastis.

“Teknologi bisa membantu pelayanan kesehatan, tapi tanpa integritas manajemen, semua sistem hanyalah hiasan.”

Dampak Langsung bagi Pelayanan Masyarakat

Ketika manajemen rumah sakit sibuk saling lempar tanggung jawab, pelayanan publik menjadi korban. Pasien seringkali harus menunggu lebih lama karena keputusan administratif tertunda. Tenaga medis kebingungan menghadapi kebijakan yang berubah-ubah tanpa arahan jelas. Tidak jarang juga, alat medis rusak karena tidak ada keputusan siapa yang harus mengurus perbaikan.

Fenomena ini tidak hanya merusak citra rumah sakit, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan milik pemerintah. Masyarakat menjadi skeptis dan lebih memilih rumah sakit swasta meskipun biayanya lebih tinggi, hanya karena pelayanan dirasa lebih profesional.

Faktor yang Memicu Terjadinya Saling Lempar

Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya budaya saling lempar tanggung jawab di lingkungan RSUD:

  1. Kepemimpinan Lemah
    Tidak semua pimpinan rumah sakit memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni. Banyak di antaranya berlatar belakang medis namun kurang pengalaman dalam tata kelola organisasi publik.
  2. SOP yang Tidak Ditegakkan
    Standar Operasional Prosedur seringkali hanya menjadi dokumen formalitas. Dalam praktiknya, banyak keputusan diambil tanpa dasar tertulis, sehingga sulit menentukan siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi kesalahan.
  3. Kurangnya Pengawasan Internal
    Audit internal dan inspektorat daerah sering bekerja reaktif, baru turun tangan setelah muncul laporan media atau tekanan publik. Padahal, sistem pengawasan harus bersifat preventif dan berkelanjutan.
  4. Budaya Birokrasi yang Tidak Transparan
    Lingkungan kerja yang tidak terbuka terhadap kritik dan laporan membuat bawahan enggan menyampaikan masalah, sehingga ketika masalah membesar, semuanya saling cuci tangan.

Keterlibatan Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah sebagai pemilik rumah sakit daerah sejatinya memiliki peran sentral dalam memastikan tata kelola berjalan baik. Sayangnya, koordinasi antara dinas kesehatan dan manajemen RSUD sering tidak sinkron. Anggaran besar digelontorkan setiap tahun, namun tanpa sistem evaluasi yang transparan.

Beberapa kepala daerah bahkan mengakui bahwa sulit memonitor langsung setiap kebijakan di RSUD karena otonomi manajemen yang terlalu luas. Hal ini bisa berakibat fatal jika tidak dibarengi dengan tanggung jawab yang proporsional.

Solusi untuk Memperbaiki Sistem

Ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh agar fenomena saling lempar tanggung jawab ini tidak terus terjadi.

1. Penegasan Struktur dan Job Description
Setiap posisi dalam manajemen RSUD harus memiliki uraian tugas tertulis yang disetujui bersama. Setiap keputusan penting, terutama yang berkaitan dengan keuangan, harus melalui persetujuan tertulis berjenjang.

2. Peningkatan Kapasitas Pimpinan
Direktur dan pejabat RSUD harus mendapatkan pelatihan manajemen publik, bukan hanya kompetensi medis. Kepemimpinan yang baik akan menciptakan budaya kerja yang bertanggung jawab.

3. Audit Transparan dan Rutin
Audit keuangan serta audit kinerja harus dilakukan secara berkala. Hasilnya wajib diumumkan kepada publik agar masyarakat mengetahui sejauh mana uang negara digunakan dengan benar.

4. Penguatan Sistem Informasi Manajemen
RSUD perlu memiliki sistem digital yang tidak hanya mencatat pasien, tetapi juga seluruh transaksi, aset, dan laporan keuangan. Setiap perubahan harus bisa dilacak untuk mencegah penyimpangan.

5. Budaya Akuntabilitas Kolektif
Alih-alih mencari siapa yang salah, budaya organisasi perlu dibangun agar setiap pegawai merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap pelayanan publik.

“Ketika sebuah lembaga publik gagal mengakui kesalahannya, saat itu pula kepercayaan masyarakat mulai runtuh.”

Refleksi terhadap Pelayanan Kesehatan Publik

Kasus manajemen RSUD yang saling lempar tanggung jawab sesungguhnya menjadi refleksi lebih luas dari masalah birokrasi di sektor publik Indonesia. Ketika kepemimpinan kehilangan arah dan sistem tidak ditegakkan, maka pelayanan kepada rakyat pun menjadi korban.

Masyarakat tidak menuntut rumah sakit sempurna. Mereka hanya berharap ketika berobat, mendapatkan pelayanan yang cepat, aman, dan manusiawi. Semua itu bisa terwujud jika manajemen berani mengambil tanggung jawab, bukan justru menghindar.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Tetapi komitmen dari pimpinan daerah, tenaga medis, dan masyarakat bisa menjadi kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap rumah sakit umum daerah di Indonesia.

“Pelayanan publik yang baik dimulai dari kejujuran mengakui kesalahan, bukan dari mencari alasan untuk melempar tanggung jawab.”