20 Ormas Desak Pemerintah Bubarkan HTI

Jatim69 Views

Gelombang penolakan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mencapai puncaknya ketika sedikitnya 20 organisasi masyarakat (ormas) dari berbagai daerah di Indonesia secara terbuka menyerukan pembubaran organisasi tersebut. Desakan itu muncul akibat kekhawatiran akan penyebaran ideologi khilafah yang dinilai bertentangan dengan dasar negara Pancasila.

Fenomena ini tidak hanya menjadi perbincangan di lingkaran politik, tetapi juga menjadi ujian bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya menjaga ideologi bangsa. Dari kelompok Islam moderat hingga komunitas lintas agama, suara mereka seakan bergaung dalam satu irama: mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Ketika masyarakat sipil bergerak serempak, itu menandakan ada sesuatu yang benar-benar dirasakan mengancam bersama. Dan negara tidak bisa lagi hanya menjadi penonton.”


Awal Mula Kontroversi HTI di Indonesia

HTI merupakan cabang dari gerakan internasional Hizb ut-Tahrir yang berpusat di Timur Tengah. Gerakan ini secara terbuka memperjuangkan sistem khilafah sebagai tatanan pemerintahan yang dianggap ideal bagi umat Islam. Di Indonesia, organisasi ini berdiri pada awal 1980-an dan berkembang pesat di lingkungan kampus serta organisasi mahasiswa Islam.

Aktivitas HTI pada mulanya berfokus pada dakwah dan diskusi keagamaan, namun belakangan semakin banyak pihak yang menilai bahwa gerakan tersebut telah berubah arah menjadi agenda politik ideologis. Mereka menilai bahwa HTI tidak hanya berdakwah, tetapi juga berupaya mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi khilafah, yang jelas bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila.

Pemerintah mulai menaruh perhatian serius ketika sejumlah kegiatan HTI di berbagai daerah mengundang polemik. Seminar, tabligh akbar, hingga pengibaran bendera dengan lambang yang mirip dengan simbol khilafah kerap menimbulkan kegelisahan di masyarakat.

“Pancasila bukan sekadar ideologi, tapi perekat bangsa yang sudah terbukti menyatukan perbedaan. Segala bentuk gerakan yang mencoba menggantinya akan berhadapan dengan arus besar rakyat Indonesia.”


Gelombang Desakan dari Berbagai Ormas

Pada tahun-tahun menjelang pembubaran HTI, berbagai organisasi masyarakat mulai mengeluarkan pernyataan sikap. Mereka menilai bahwa keberadaan HTI tidak lagi bisa ditoleransi karena dinilai telah menyimpang dari prinsip kebangsaan.

Salah satu gelombang besar datang dari Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Nusa Tenggara Timur yang menggelar aksi damai menuntut pemerintah segera membubarkan HTI. Aksi ini diikuti oleh ormas-ormas lain seperti Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII), serta beberapa cabang Nahdlatul Ulama di berbagai provinsi.

Mereka menyatakan sikap bahwa HTI telah menimbulkan keresahan dan membahayakan keutuhan bangsa. Bahkan di beberapa daerah, ormas-ormas lokal melakukan dialog terbuka dan mengajukan rekomendasi resmi kepada pemerintah daerah agar menolak segala bentuk aktivitas yang terkait dengan HTI.


Daftar Ormas yang Tersorot Aktif Menolak HTI

  1. Gerakan Pemuda Ansor dan Banser – Menjadi motor utama penolakan di berbagai daerah dengan aksi damai dan deklarasi terbuka.
  2. Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII) – Menyatakan dukungan terhadap pemerintah untuk menindak ormas yang mengancam Pancasila.
  3. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah dan Kalimantan Timur – Menegaskan bahwa sistem khilafah bukanlah jalan yang sesuai dengan ajaran Islam Indonesia.
  4. Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) – Menyampaikan seruan agar seluruh elemen bangsa bersatu melawan gerakan radikal.
  5. Laskar Merah Putih, Pemuda Pancasila, dan Forum Bela Negara – Secara terbuka menyatakan kesetiaan terhadap NKRI dan menolak keberadaan HTI.

Selain itu, beberapa ormas lokal seperti Forum Masyarakat Cinta NKRI, Garda Merah Putih, dan Aliansi Pemuda Nusantara juga turut memberikan tekanan politik agar pemerintah tidak ragu mengambil langkah tegas.

“Gerakan ormas-ormas ini menjadi bukti bahwa semangat nasionalisme belum padam. Mereka tidak ingin ideologi impor menggantikan identitas bangsa.”


Pemerintah Menyikapi Tekanan Publik

Desakan yang datang bertubi-tubi dari ormas akhirnya memaksa pemerintah meninjau ulang status hukum HTI. Pada 10 Juli 2017, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Melalui peraturan ini, pemerintah diberi kewenangan untuk membubarkan ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila tanpa perlu melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Langkah ini dianggap sebagai jalan cepat untuk mencegah berkembangnya gerakan yang berpotensi merusak keutuhan negara.

Setelah melalui kajian dan berbagai pertimbangan, Kementerian Hukum dan HAM akhirnya mencabut status badan hukum HTI pada 19 Juli 2017. Keputusan ini menjadi titik balik besar dalam hubungan antara negara dan ormas keagamaan di Indonesia.

“Negara tidak anti-kritik, tapi negara juga tidak boleh membiarkan ideologi yang hendak menggantikan fondasi berdirinya.”


Argumen Utama di Balik Desakan Pembubaran

Desakan pembubaran HTI tidak muncul tanpa alasan. Terdapat sejumlah argumen kuat yang menjadi dasar sikap 20 ormas tersebut.

1. Bertentangan dengan Ideologi Pancasila

HTI secara ideologis memperjuangkan sistem khilafah sebagai alternatif dari sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Ide ini dianggap menolak asas kebangsaan, kemanusiaan, dan musyawarah mufakat yang menjadi roh Pancasila.

2. Mengancam Keutuhan NKRI

Bagi ormas yang menolak HTI, keberadaan gerakan yang menolak nasionalisme berarti ancaman langsung terhadap kedaulatan negara. Mereka beranggapan bahwa HTI berpotensi menumbuhkan bibit separatisme ideologis.

3. Menimbulkan Perpecahan Sosial

Pola komunikasi HTI yang agresif di media sosial dan kampus-kampus membuat banyak ormas menilai bahwa gerakan ini memecah belah umat Islam sendiri.

4. Potensi Penyusupan Politik

Sebagian pihak melihat HTI memiliki agenda politik terselubung dengan memanfaatkan celah kebebasan berpendapat di era reformasi untuk memperluas pengaruh ideologinya.

“Kebebasan berpendapat bukanlah tiket untuk menghancurkan nilai-nilai yang sudah disepakati bersama. Demokrasi tanpa batas justru bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.”


Aksi dan Deklarasi Nasional

Seruan pembubaran HTI tidak berhenti di tingkat daerah. Pada pertengahan 2017, sejumlah ormas melakukan deklarasi nasional di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Deklarasi tersebut dihadiri oleh perwakilan organisasi lintas agama, tokoh masyarakat, serta akademisi.

Dalam deklarasi itu, para peserta menyerukan agar pemerintah tidak ragu melarang segala bentuk aktivitas yang mengarah pada pendirian khilafah. Mereka juga meminta aparat penegak hukum mengawasi gerakan eks-HTI yang masih beraktivitas dengan nama lain.

Di beberapa wilayah, aksi serupa juga digelar bersamaan dengan doa bersama untuk keutuhan NKRI. Masyarakat datang membawa bendera Merah Putih dan spanduk bertuliskan “Pancasila Harga Mati”.


Tanggapan HTI dan Simpatisannya

HTI melalui juru bicaranya sempat membantah tuduhan bahwa organisasinya ingin mengganti dasar negara. Mereka menilai tuduhan itu sebagai bentuk kesalahpahaman terhadap visi dakwah yang mereka jalankan.

Beberapa simpatisan bahkan menyebut pembubaran HTI sebagai tindakan anti-demokrasi karena dilakukan tanpa melalui proses pengadilan. Mereka menuntut keadilan dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Namun, gugatan tersebut akhirnya ditolak. Pemerintah dinilai telah bertindak sesuai kewenangan dalam menegakkan aturan perundangan.

“Kebenaran ideologis sering kali tidak cukup hanya diyakini. Ia harus juga diterima secara sosial dan konstitusional. Jika tidak, maka akan menjadi pertentangan yang tak berkesudahan.”


Dampak Sosial dan Politik Setelah Pembubaran

Setelah pencabutan badan hukum HTI, muncul berbagai dinamika baru di masyarakat. Sebagian kalangan merasa lega karena ancaman ideologi khilafah dianggap sudah berakhir. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa pembubaran ormas tanpa proses pengadilan dapat membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah.

Beberapa aktivis hak asasi manusia menilai bahwa Perppu Ormas memberikan kewenangan terlalu besar kepada negara. Mereka khawatir mekanisme serupa dapat digunakan untuk menekan ormas lain di masa depan.

Di lapangan, laporan juga menunjukkan bahwa sebagian mantan anggota HTI masih melakukan aktivitas dakwah dengan nama berbeda. Gerakan mereka lebih tertutup namun masih berfokus pada isu-isu keislaman dan politik.

“Membubarkan organisasi tidak otomatis membubarkan ideologi. Tugas terbesar justru adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran baru agar masyarakat tidak mudah terpengaruh.”


Peran Ormas sebagai Penjaga Ideologi Bangsa

Dalam kasus ini, ormas-ormas yang mendesak pembubaran HTI menunjukkan peran aktif masyarakat dalam menjaga ideologi Pancasila. Mereka bukan sekadar penonton, melainkan penggerak yang berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan negara.

Keberanian mereka menggelar aksi dan menyuarakan aspirasi menjadi bukti bahwa demokrasi Indonesia masih hidup. Namun, peran ini juga menuntut tanggung jawab besar agar tidak berubah menjadi tekanan politik yang membabi buta.

Ormas seperti Ansor, Banser, NU, dan FKUB telah menunjukkan bagaimana kolaborasi lintas kelompok bisa menjadi kekuatan sosial dalam menjaga kesatuan bangsa.

“Di tengah perbedaan agama, etnis, dan budaya, ternyata semangat cinta tanah air masih menjadi bahasa yang bisa menyatukan semua orang.”


Reaksi Akademisi dan Pengamat Politik

Banyak akademisi menilai pembubaran HTI merupakan keputusan strategis yang diambil dalam situasi darurat ideologi. Meski demikian, mereka juga mengingatkan agar langkah serupa tidak dijadikan preseden untuk membungkam kritik sosial.

Beberapa dosen ilmu politik menyebut bahwa fenomena HTI menunjukkan adanya kegagalan negara dalam memberikan pemahaman ideologis yang kuat kepada generasi muda. Kampus-kampus menjadi sasaran empuk bagi ideologi transnasional karena lemahnya pendidikan kebangsaan.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara menilai bahwa pembubaran HTI melalui Perppu memang sah, tetapi sebaiknya di masa mendatang mekanisme yudisial tetap dikedepankan agar demokrasi berjalan seimbang antara kebebasan dan keamanan.


Dampak terhadap Hubungan Antarumat Beragama

Desakan 20 ormas juga memperlihatkan wajah Indonesia yang toleran. Meskipun sebagian besar ormas yang menolak HTI berasal dari kalangan Islam moderat, beberapa organisasi Kristen, Hindu, dan Budha ikut memberikan dukungan moral.

Kolaborasi lintas agama ini memperkuat pesan bahwa ancaman terhadap Pancasila adalah ancaman bagi seluruh umat beragama, bukan hanya satu golongan tertentu. Banyak pihak berharap momentum ini bisa menjadi awal kebersamaan baru di tengah meningkatnya polarisasi politik identitas.

“Persatuan tidak lahir dari keseragaman, tetapi dari kesadaran bersama bahwa perbedaan adalah kekuatan yang harus dijaga.”


Evaluasi Pasca Pembubaran

Setelah HTI resmi dibubarkan, pemerintah mulai melakukan pemantauan terhadap kegiatan eks-HTI di berbagai daerah. Aparat keamanan dan intelijen daerah diberi tugas untuk memastikan tidak ada aktivitas yang mengarah pada penyebaran ideologi khilafah.

Kementerian Dalam Negeri juga mengimbau pemerintah daerah agar memperketat izin kegiatan publik yang berpotensi digunakan untuk propaganda ideologi anti-Pancasila. Selain itu, pendidikan Pancasila kembali dikuatkan di sekolah dan kampus sebagai langkah antisipatif terhadap infiltrasi ideologi transnasional.

“Kita tidak bisa menutup mata, bahwa medan perang ideologi hari ini bukan lagi di jalan, tetapi di ruang digital dan pikiran generasi muda.”


Catatan Akhir dari Perjalanan Panjang Desakan Ormas

Desakan 20 ormas untuk membubarkan HTI bukan sekadar peristiwa politik, tetapi juga potret bagaimana masyarakat sipil Indonesia masih memegang kendali moral dalam menentukan arah bangsa.

Dari kampus, masjid, hingga gereja, dari organisasi Islam moderat hingga komunitas lintas agama, semuanya bersuara atas dasar kecintaan terhadap Pancasila dan NKRI.

Mereka tidak ingin ideologi asing merusak bangunan kebangsaan yang telah berdiri puluhan tahun. Gerakan bersama ini menjadi pembuktian bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki daya imun sosial yang kuat terhadap ideologi destruktif.

“Selama masih ada yang berani bersuara untuk kebenaran dan persatuan, maka bangsa ini tidak akan pernah kehilangan arah.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *