Gagal Mungut Pajak, Sigit Resign : Integritas dan Tekanan Target

Langit ekonomi Indonesia kala itu tampak mendung. Di balik ambisi pemerintah untuk menambal kebutuhan fiskal negara, terselip satu babak dramatis yang jarang terjadi di dunia birokrasi Indonesia. Direktur Jenderal Pajak, Sigit Priadi Pramudito, memilih mengundurkan diri dari jabatannya setelah gagal mencapai target penerimaan pajak tahun 2015. Keputusan ini bukan hanya mengguncang Kementerian Keuangan, tetapi juga membuka perdebatan publik soal makna tanggung jawab moral seorang pejabat negara.


Latar Belakang: Saat Target Pajak Menjadi Tekanan yang Tak Terbendung

Sigit Priadi Pramudito resmi diangkat sebagai Direktur Jenderal Pajak pada 6 Februari 2015 oleh Menteri Keuangan kala itu, Bambang Brodjonegoro. Ia datang dengan reputasi sebagai pejabat karier yang matang, pernah menjabat di berbagai posisi strategis di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Namun di tengah kondisi ekonomi global yang sedang melambat, tugas berat menanti. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp 1.294 triliun untuk tahun 2015, angka yang sudah dinilai banyak ekonom terlalu optimistis. Dalam waktu kurang dari satu tahun masa jabatannya, Sigit dihadapkan pada tantangan yang tampak mustahil: memenuhi target di tengah perlambatan ekonomi dan turunnya harga komoditas dunia yang menjadi tumpuan penerimaan negara.

Bagi banyak pihak, target itu adalah simbol keinginan pemerintah menjaga defisit anggaran. Namun bagi Sigit, target tersebut berubah menjadi beban moral yang berat. Hingga akhir November 2015, realisasi penerimaan pajak baru mencapai sekitar Rp 806 triliun atau hanya 64 persen dari target nasional.


Momentum Keputusan: Surat Pengunduran Diri yang Menggetarkan

Pada 1 Desember 2015, di tengah suasana rapat internal yang serius, Sigit Priadi Pramudito menyerahkan surat pengunduran diri kepada Menteri Keuangan. Keputusan itu kemudian berlaku efektif pada 2 Desember 2015. Ia menyatakan mundur karena merasa gagal memenuhi target minimal yang dapat ditolerir, yakni 85 persen dari total target penerimaan pajak.

Sigit mengungkapkan bahwa pengunduran diri itu adalah bentuk tanggung jawab moralnya sebagai pejabat publik. Ia tidak ingin mempertahankan jabatan jika hasil kerjanya tidak mencapai harapan publik.

Langkahnya langsung menjadi perbincangan luas. Tidak banyak pejabat di Indonesia yang berani mengambil langkah ekstrem seperti itu, terlebih dalam posisi strategis yang begitu tinggi.

“Integritas tidak diukur dari berapa lama seseorang bertahan di jabatan, tetapi dari keberaniannya mengakui batas kemampuan dan tanggung jawabnya,”

ujar seorang pengamat ekonomi saat menanggapi keputusan Sigit.


Reaksi Publik dan Pemerintah: Antara Kaget dan Kagum

Keputusan mundur Sigit menciptakan gelombang kejutan di lingkungan Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro kala itu menghormati keputusan tersebut, sembari menegaskan bahwa langkah Sigit merupakan cerminan tanggung jawab yang jarang terlihat di birokrasi.

Di sisi lain, publik memberikan tanggapan beragam. Sebagian menilai tindakan itu sebagai bentuk kejujuran moral yang patut ditiru, sementara sebagian lainnya mempertanyakan apakah pengunduran diri bisa menjadi solusi di tengah sistem pajak yang kompleks.

Banyak kalangan akademisi dan pengamat menilai, kegagalan mencapai target tidak sepenuhnya bisa dibebankan kepada Dirjen Pajak. Kondisi ekonomi nasional dan global yang sedang melambat, ditambah lemahnya harga minyak dan komoditas, telah menekan penerimaan dari sektor-sektor utama.

Namun keputusan Sigit tetap menjadi simbol penting: bahwa tanggung jawab jabatan bukan hanya soal sukses, tetapi juga tentang kesediaan menerima kegagalan.


Mengurai Akar Masalah: Kenapa Target Pajak Sulit Tercapai

Terdapat beberapa penyebab utama yang membuat target penerimaan pajak 2015 gagal tercapai.

1. Kondisi Ekonomi Global yang Melemah

Harga minyak mentah dunia terjun bebas hingga di bawah 40 dolar AS per barel. Sektor pertambangan dan energi, yang selama ini menjadi penyumbang besar pajak, mengalami tekanan hebat. Pendapatan korporasi menurun, sehingga pajak penghasilan badan juga ikut menyusut.

2. Ketidakpatuhan Wajib Pajak

Masih banyak wajib pajak, terutama dari sektor menengah atas, yang belum sepenuhnya patuh terhadap kewajiban perpajakan. Keterbatasan basis data membuat DJP kesulitan melakukan penagihan optimal.

3. Sistem Administrasi yang Belum Sempurna

Modernisasi pajak sudah berjalan, namun belum menyeluruh. Banyak kantor pelayanan pajak masih bergantung pada sistem manual yang memperlambat proses validasi dan pelaporan.

4. Target yang Terlalu Ambisius

Ekonom senior menilai bahwa target Rp 1.294 triliun pada 2015 sudah terlalu tinggi dibandingkan kapasitas ekonomi riil. Pemerintah seolah ingin menutup defisit dengan harapan pajak bisa menjadi penyelamat, padahal kondisi dunia usaha sedang lesu.

“Dalam ekonomi yang lemah, menaikkan target pajak seperti mengharap panen di musim kemarau,”

begitulah salah satu komentar tajam yang muncul dari kalangan pengamat fiskal.


Pergantian Kursi dan Dampak terhadap Kementerian Keuangan

Setelah pengunduran diri Sigit diterima, Menteri Keuangan menunjuk Ken Dwijugiasteadi sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Dirjen Pajak. Langkah itu dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan di tengah masa krusial pengumpulan penerimaan akhir tahun.

Kejadian ini menjadi perhatian besar tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di kalangan lembaga internasional. Pengunduran diri pejabat tinggi karena gagal mencapai target adalah hal langka di Indonesia, bahkan bisa dikatakan belum pernah terjadi sebelumnya di tubuh Direktorat Jenderal Pajak.

Bambang Brodjonegoro sendiri dalam konferensi pers menegaskan bahwa tindakan Sigit adalah “keputusan pribadi yang sangat dihormati” dan mencerminkan tanggung jawab profesional.

Namun di sisi lain, pengunduran diri ini juga menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk mengevaluasi sistem penetapan target yang realistis dan berbasis data ekonomi terkini.


Reaksi dari Kalangan DPR dan Publik Pajak

Beberapa anggota Komisi XI DPR yang membidangi keuangan menilai langkah Sigit patut diapresiasi. Mereka berpendapat bahwa sikap itu menunjukkan teladan moral yang baik bagi pejabat publik.

Namun di sisi lain, muncul kritik bahwa kegagalan pajak tidak semata soal kepemimpinan, tetapi juga karena rendahnya kepatuhan struktural di kalangan pelaku usaha dan individu berpenghasilan tinggi.

Publik juga menyoroti perlunya reformasi besar-besaran di tubuh DJP, terutama dalam hal digitalisasi, penyederhanaan regulasi, dan pemberantasan pungli yang masih menjadi keluhan wajib pajak.

Seorang wajib pajak yang diwawancarai media bahkan mengatakan,

“Bukan hanya Dirjennya yang harus tanggung jawab. Kalau sistemnya masih ribet dan tidak transparan, ya penerimaan akan tetap jeblok.”


Pembelajaran Moral: Ketika Integritas Mengalahkan Jabatan

Dalam catatan sejarah administrasi publik Indonesia, pengunduran diri karena gagal mencapai target hampir tidak pernah terjadi. Sebagian besar pejabat cenderung bertahan hingga masa jabatan berakhir, meskipun kinerja mereka dikritik.

Langkah Sigit menjadi preseden baru yang mencerminkan integritas. Ia tidak menunggu dievaluasi oleh atasan, melainkan mengambil keputusan sendiri sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Bagi sebagian masyarakat, sikap ini adalah contoh nyata bahwa masih ada pejabat yang menjunjung tinggi etika profesional. Namun bagi sebagian lainnya, keputusan tersebut juga dianggap sebagai refleksi bahwa sistem fiskal Indonesia belum kokoh menghadapi tekanan target yang tidak seimbang dengan kondisi ekonomi.

“Kadang kejujuran adalah bentuk kemenangan yang tidak tercatat di laporan anggaran,”

begitu pendapat yang muncul dari berbagai kalangan akademisi menanggapi langkah berani tersebut.


Dampak terhadap Reputasi dan Kepercayaan Publik

Meski pengunduran diri itu menimbulkan kekosongan sementara di pucuk pimpinan DJP, citra lembaga tersebut justru mendapat perhatian positif. Publik menilai bahwa masih ada harapan bagi birokrasi yang bersih dan bertanggung jawab.

Namun bagi pemerintah, ini menjadi tugas berat. Kekurangan penerimaan pajak sebesar hampir Rp 450 triliun pada 2015 tidak bisa diabaikan. Defisit anggaran semakin melebar, sementara kebutuhan belanja publik tetap tinggi.

Kementerian Keuangan kemudian mempercepat langkah reformasi pajak, memperkuat pengawasan internal, dan memperluas kerja sama pertukaran data dengan perbankan.


Dimensi Politik dan Psikologis

Beberapa analis menilai keputusan Sigit tidak bisa dilepaskan dari tekanan politik dan publik. Target pajak yang tinggi sering kali digunakan sebagai simbol keberhasilan pemerintah, sehingga kegagalan mencapainya bisa menjadi bahan kritik tajam.

Sigit tampak memilih mundur sebelum tekanan itu berubah menjadi serangan politik yang lebih besar. Langkahnya dianggap menyelamatkan citra institusi dari polemik berkepanjangan.

Namun, pengunduran diri itu juga memperlihatkan rapuhnya sistem insentif dan akuntabilitas pejabat publik di Indonesia. Belum ada mekanisme yang jelas untuk mengukur kinerja pejabat secara objektif di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif.


Refleksi atas Kepemimpinan dan Reformasi Pajak

Setelah kepergian Sigit, pembahasan mengenai reformasi pajak semakin mengemuka. Pemerintah mulai meninjau ulang sistem perencanaan target, memperbaiki data perpajakan, serta memperluas basis pajak melalui program amnesti pajak yang diluncurkan pada tahun berikutnya.

Kejadian ini menjadi momentum introspeksi bagi seluruh pejabat publik, terutama di sektor keuangan.

Apakah sistem yang berlaku sudah adil bagi pelaksana di lapangan? Apakah target ditetapkan berdasarkan kajian mendalam, atau sekadar angka politik dalam APBN?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengemuka di forum-forum diskusi fiskal nasional.


Makna yang Tersisa: Ketika Gagal Bukan Akhir Segalanya

Kasus mundurnya Sigit Priadi Pramudito mungkin sudah berlalu, tetapi maknanya tetap relevan hingga kini. Ia menandai lahirnya kesadaran baru bahwa pejabat publik tidak hanya dinilai dari hasil, tetapi juga dari integritas dalam menghadapi kegagalan.

Publik masih mengingat bagaimana ia memilih diam daripada membela diri panjang lebar. Dalam wawancara singkat, Sigit hanya mengatakan bahwa keputusan itu sudah menjadi konsekuensi logis dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin lembaga penerimaan negara.

Satu kalimatnya kemudian sering dikutip dalam berbagai forum:

“Kalau saya tidak sanggup memenuhi target, maka lebih baik saya mundur daripada bertahan tanpa hasil.”

Kata-kata itu menjadi simbol kesadaran moral seorang pejabat yang menempatkan kehormatan di atas jabatan.


Sebuah Renungan Bagi Negeri

Keberanian mundur karena gagal adalah tindakan yang jarang ditemukan di lingkungan birokrasi Indonesia. Di tengah budaya kerja yang sering kali lebih menghargai loyalitas ketimbang hasil, keputusan Sigit menjadi pengingat bahwa integritas tetap punya tempat.

Bagi sebagian masyarakat, langkah itu membuka harapan bahwa perubahan etika di kalangan pejabat masih mungkin terjadi. Bahwa ada pejabat yang lebih memilih kehilangan jabatan daripada kehilangan harga diri.

“Seandainya setiap pemimpin memiliki keberanian seperti ini, mungkin negeri ini akan lebih cepat berbenah,”

itulah renungan yang sering muncul ketika peristiwa ini dikenang kembali.

Dan di balik semua dinamika fiskal dan politik, satu hal tetap nyata: kegagalan memang bisa menjadi titik akhir, tetapi bagi seorang pejabat berintegritas, ia justru menjadi awal dari kehormatan yang abadi.