Mengapa Hukum Tidak Selalu Sama dengan Keadilan

Nasional22 Views

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di suatu negara. Namun, tidak sedikit pula yang merasakan bahwa hukum kadang tidak menghadirkan keadilan sebagaimana mestinya. Antara hukum dan keadilan terdapat jurang yang tak selalu mudah dijembatani, seolah dua hal itu berjalan di rel yang berbeda. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa hukum tidak selalu sama.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di dunia. Banyak kasus yang secara hukum dinyatakan sah, tetapi terasa tidak adil di mata masyarakat. Begitu pula sebaliknya, ada tindakan yang mungkin melanggar hukum tertulis, tetapi justru dianggap benar secara moral.

Keadilan sejati tidak selalu lahir dari teks undang-undang, melainkan dari hati nurani yang mampu membedakan benar dan salah.”


Hukum Sebagai Aturan, Keadilan Sebagai Nilai

Secara definisi, hukum adalah seperangkat aturan yang dibuat untuk mengatur perilaku masyarakat agar tercipta keteraturan dan kepastian. Sementara keadilan adalah nilai moral yang berkaitan dengan rasa benar, pantas, dan setara.

Keduanya memang memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan kehidupan sosial yang harmonis. Namun, hukum beroperasi secara objektif melalui teks dan prosedur, sedangkan keadilan hidup di ranah subjektif, tergantung pada nilai, empati, dan konteks kemanusiaan.

Ketika hukum diterapkan tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan, maka ia bisa kehilangan rohnya. Hukum yang terlalu kaku sering kali gagal membaca situasi yang lebih luas, sehingga hasilnya terasa tidak adil bagi pihak-pihak yang terdampak.

“Aturan bisa benar di atas kertas, tapi hanya hidup jika manusia mampu memahami penderitaan sesamanya.”


Sejarah Pemikiran tentang Keadilan dan Hukum

Sejak masa filsuf Yunani Kuno, perdebatan tentang hubungan antara hukum dan keadilan sudah berlangsung panjang. Plato berpendapat bahwa hukum seharusnya menjadi jalan menuju keadilan ideal, sedangkan Aristoteles menekankan bahwa hukum hanyalah alat untuk menegakkan keadilan sosial.

Di era modern, pemikir seperti John Rawls memperkenalkan konsep keadilan sebagai kesetaraan peluang. Ia berpendapat bahwa hukum yang adil adalah hukum yang memberi kesempatan yang sama bagi semua orang tanpa diskriminasi.

Namun dalam praktiknya, hukum sering kali lebih mudah melayani mereka yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap sumber daya. Dari sinilah muncul istilah “equal before the law” yang dalam kenyataannya sulit diwujudkan secara murni.

“Di ruang sidang, sering datang terlambat, atau hanya berpihak pada mereka yang mampu membayarnya.”


Ketika Prosedur Mengalahkan Nurani

Salah satu alasan mengapa hukum tidak selalu sejalan dengan keadilan adalah karena hukum modern sangat terikat pada prosedur. Setiap tindakan hukum harus memenuhi syarat formal tertentu, mulai dari bukti, saksi, hingga proses administratif yang panjang.

Masalahnya, kebenaran moral tidak selalu bisa dibuktikan secara formal. Ada banyak kasus di mana pelaku kejahatan bebas karena kurangnya bukti, meski publik yakin akan kesalahannya. Sebaliknya, orang yang tidak bersalah bisa terjebak dalam proses hukum yang tidak adil karena lemahnya pembelaan.

Prosedur memang penting untuk menjaga keteraturan, tetapi ketika prosedur menjadi lebih penting daripada substansi, maka hukum kehilangan makna keadilannya.

“Hukum tanpa nurani hanyalah mesin yang berjalan tanpa arah, menghitung kesalahan tapi lupa pada kebenaran.”


Ketimpangan Akses terhadap Keadilan

Masalah lain yang membuat hukum sering terasa tidak adil adalah ketimpangan akses terhadap sistem hukum itu sendiri. Dalam banyak kasus, keadilan menjadi barang mahal yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu membayar pengacara terbaik dan memiliki jaringan kekuasaan.

Bagi masyarakat miskin, memperjuangkan hak di pengadilan bukan hal yang mudah. Biaya perkara, waktu, dan kompleksitas prosedur sering membuat mereka menyerah sebelum memulai. Dalam situasi seperti ini, hukum yang seharusnya melindungi justru menjadi beban.

Keadilan akhirnya menjadi konsep elitis, hanya dinikmati oleh segelintir orang. Padahal, dalam pandangan ideal, hukum harus menjadi pelindung bagi yang lemah, bukan alat untuk mempertahankan kekuasaan yang kuat.

“Ketika hukum berpihak pada yang kaya, maka keadilan kehilangan maknanya sebagai pelindung bagi mereka yang tak bersuara.”


Peran Moral dan Empati dalam Penegakan Hukum

Di sinilah peran moralitas menjadi penting. Penegak hukum tidak hanya bertugas menegakkan aturan, tetapi juga harus memiliki empati terhadap dampak sosial dari keputusannya.

Hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum perlu memiliki kepekaan terhadap nilai kemanusiaan agar hukum tidak berubah menjadi instrumen kering tanpa jiwa. Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya diukur dari kebenaran formal, tetapi juga dari kemampuan hukum memberikan rasa aman dan pemulihan bagi korban.

Sebagaimana dikatakan oleh seorang filsuf hukum, Gustav Radbruch, bahwa hukum yang bertentangan dengan keadilan sejati bukanlah hukum yang patut ditaati.

“Keadilan tidak bisa diukur dengan pasal, karena kadang hati lebih tahu mana yang benar.”


Contoh Nyata Ketidakseimbangan antara Hukum dan Keadilan

Banyak contoh di Indonesia yang memperlihatkan perbedaan antara hukum dan keadilan. Beberapa kasus pidana ringan seperti pencurian kecil atau pelanggaran sepele sering dijatuhi hukuman berat karena tidak memenuhi prosedur formal keadilan restoratif.

Sebaliknya, kasus korupsi besar yang merugikan negara justru berakhir dengan hukuman ringan atau pembebasan bersyarat. Ketimpangan seperti ini menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa keadilan tidak hanya bergantung pada undang-undang, tetapi juga pada integritas dan kebijaksanaan penegak hukum dalam menafsirkan aturan.

“Akan selalu timpang selama hukum diperlakukan sebagai alat kekuasaan, bukan alat kebenaran.”


Antara Legalitas dan Legitimasi Moral

Hukum sering kali berlandaskan pada legalitas, yaitu apakah suatu tindakan sesuai dengan aturan tertulis atau tidak. Namun, tidak semua yang legal itu adil, dan tidak semua yang adil itu legal.

Misalnya, pada masa kolonial, banyak peraturan yang sah secara hukum tetapi menindas masyarakat pribumi. Demikian pula di masa modern, ada kebijakan yang mungkin sesuai dengan undang-undang, tetapi melukai rasa adil rakyat kecil.

Inilah yang disebut dengan dilema antara legalitas dan legitimasi moral. Negara hukum yang ideal seharusnya mampu menyatukan keduanya, sehingga setiap kebijakan tidak hanya sah secara hukum tetapi juga diterima secara moral oleh masyarakat.

“Legalitas memberi kekuasaan, tapi legitimasi moral memberi kepercayaan.”


Hukum dan Konteks Sosial yang Selalu Berubah

Bersifat dinamis, berubah mengikuti perkembangan nilai-nilai sosial dan budaya. Apa yang dianggap adil di masa lalu belum tentu relevan hari ini. Karena itu, hukum juga harus berkembang agar tidak tertinggal dari perubahan zaman.

Masalahnya, proses pembaruan hukum sering kali berjalan lambat, sementara realitas sosial berubah cepat. Akibatnya, banyak pasal dan aturan yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Misalnya, isu-isu baru seperti kejahatan siber, perlindungan data pribadi, atau hak digital sering belum memiliki payung hukum yang kuat, padahal dampaknya nyata terhadap kehidupan warga.

“Hukum yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial akan kehilangan relevansinya, seperti kapal tanpa kompas di tengah badai.”


Peran Media dan Opini Publik

Di era digital, media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi. Kasus yang viral di media sosial bisa memicu tekanan publik terhadap sistem hukum, memaksa aparat bertindak lebih cepat atau lebih keras.

Namun, di sisi lain, yang lahir dari opini publik bisa berbahaya jika tidak berlandaskan fakta. Fenomena “trial by media” sering kali membuat seseorang sudah dianggap bersalah sebelum diadili secara sah.

Peran media seharusnya bukan menggantikan hukum, tetapi membantu masyarakat memahami prosesnya dengan jernih. Keadilan yang sejati tidak boleh lahir dari kemarahan massa, melainkan dari kesabaran dalam mencari kebenaran.

“Keadilan yang lahir dari tekanan publik bukan kemenangan, melainkan bentuk baru dari ketidakadilan yang dibungkus emosi.”


Reformasi Hukum dan Mimpi Keadilan Sosial

Meski hukum tidak selalu sama, bukan berarti keduanya tak bisa disatukan. Reformasi hukum yang berbasis pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial menjadi langkah penting untuk memperkecil jarak di antara keduanya.

Perlu ada perombakan dalam cara pandang terhadap hukum. Ia tidak boleh hanya menjadi kumpulan pasal yang kaku, tetapi harus menjadi sistem yang fleksibel, adaptif, dan berakar pada nilai moral masyarakat.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila seharusnya menjadi jiwa dari setiap peraturan yang dibuat. Tanpa itu, hukum akan kehilangan maknanya sebagai penjaga, dan hanya menjadi simbol kekuasaan formal yang kosong.

“Negara hukum tanpa keadilan sosial ibarat tubuh tanpa jiwa, berdiri tapi tidak hidup.”


Jalan Panjang Menuju Keadilan Sejati

Menghadirkan adil melalui hukum bukan tugas yang mudah. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, integritas aparat, dan keberanian masyarakat untuk menegakkan kebenaran.

Selama manusia masih memiliki kekuasaan dan kepentingan, ketidakseimbangan antara hukum dan keadilan akan terus terjadi. Namun, selama masih ada yang berani memperjuangkan kebenaran dengan hati.

“Tidak akan datang hanya dari hukum yang baik, tetapi dari manusia yang berani memperjuangkannya meski melawan arus.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *