Astaga, 79 Warga Jatim Bergabung ISIS !

Jatim64 Views

Fenomena keterlibatan warga Indonesia dalam jaringan terorisme internasional kembali mencuat setelah data intelijen menunjukkan bahwa sebanyak 79 warga Jawa Timur teridentifikasi bergabung dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Angka ini mengejutkan banyak pihak karena Jawa Timur selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi yang religius dan berakar kuat dalam tradisi moderat Islam.

Pemerintah dan aparat keamanan kini berupaya menelusuri lebih jauh asal-usul perekrutan tersebut, serta menakar dampak sosial yang bisa timbul dari keberadaan simpatisan dan eks anggota ISIS di wilayah tersebut.

“Ketika masyarakat merasa kehilangan arah dan keadilan, ajakan ekstrem bisa terasa seperti panggilan kebenaran. Itulah mengapa pemulihan sosial jauh lebih penting dari sekadar tindakan keamanan.”


Jawa Timur Jadi Sorotan Nasional

Kasus 79 warga Jawa Timur yang bergabung dengan ISIS pertama kali terungkap melalui laporan lembaga intelijen yang dikonfirmasi oleh pihak kepolisian dan kementerian terkait. Mereka menyebut bahwa sebagian besar rekrutmen dilakukan secara daring, melalui platform media sosial dan grup percakapan yang sulit dilacak.

Provinsi ini disebut memiliki tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi, akses digital yang luas, serta beberapa daerah dengan potensi kerentanan sosial akibat kesenjangan ekonomi. Faktor-faktor tersebut menjadikan Jawa Timur sebagai wilayah yang rawan disusupi paham radikalisme global.

Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) menyebutkan bahwa pengawasan terhadap aktivitas online di wilayah ini kini ditingkatkan secara signifikan. Aparat juga menggandeng tokoh agama, pondok pesantren, dan lembaga pendidikan untuk mengawasi potensi penyebaran ideologi ekstrem.

“Kita tidak sedang berbicara tentang orang jahat semata, tetapi tentang orang yang kehilangan arah dan menemukan ideologi palsu yang seolah memberi makna hidup.”


Awal Mula Perekrutan dan Jaringan ISIS di Indonesia

ISIS pertama kali menyebarkan pengaruhnya di Indonesia sekitar tahun 2014, ketika konflik di Suriah menarik perhatian global. Saat itu, sejumlah individu dari berbagai provinsi mulai menyatakan baiat kepada Abu Bakr al-Baghdadi. Melalui media sosial, kelompok ini menebar narasi heroik tentang jihad dan perjuangan menegakkan “daulah Islam”.

Jawa Timur, dengan banyak pesantren dan organisasi keagamaan, menjadi salah satu target penyebaran narasi tersebut. Beberapa kelompok kecil di Lamongan, Malang, dan Surabaya disebut sempat berinteraksi dengan jaringan perekrut yang memiliki koneksi internasional.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa mayoritas dari 79 orang tersebut berangkat ke luar negeri pada periode 2015–2018. Sebagian tertangkap di perbatasan Turki dan Suriah, sebagian lagi dilaporkan meninggal dunia di wilayah konflik.

“Mereka berangkat dengan idealisme semu, tapi banyak yang berakhir menjadi korban propaganda yang mempermainkan emosi dan rasa putus asa.”


Alasan dan Motivasi yang Mendorong Keikutsertaan

Penelusuran mendalam menunjukkan bahwa tidak ada satu pola tunggal yang menjelaskan mengapa seseorang bisa bergabung dengan ISIS. Beberapa faktor utama yang ditemukan antara lain:

1. Krisis Identitas dan Spiritualitas

Banyak dari para rekrutan merasa kehilangan arah hidup. Mereka mencari makna, tujuan, dan komunitas yang bisa menerima mereka secara utuh. ISIS menawarkan hal itu melalui narasi keagamaan yang disusun dengan cara manipulatif.

2. Faktor Ekonomi dan Sosial

Sebagian warga yang direkrut datang dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Mereka dijanjikan kehidupan baru, pekerjaan layak, bahkan tempat tinggal di “negara Islam” yang disebut adil dan setara.

3. Pengaruh Media Sosial

Propaganda digital menjadi senjata utama ISIS. Video-video sinematik, testimoni palsu, serta konten religius yang dikemas emosional digunakan untuk menciptakan ilusi tentang jihad yang mulia.

4. Keterlibatan Emosional

Ada pula yang berangkat karena ikut pasangan atau anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkomitmen. Faktor ini menjadikan deradikalisasi jauh lebih kompleks karena menyangkut hubungan pribadi dan psikologis.

“Ketika seseorang kehilangan tempat bernaung di dunia nyata, dunia maya bisa menjadi pintu masuk ideologi berbahaya.”


Dampak Sosial di Tingkat Lokal

Kepulangan atau keberangkatan warga ke wilayah konflik menciptakan gelombang kekhawatiran di banyak kabupaten di Jawa Timur. Keluarga para simpatisan sering kali menghadapi stigma, anak-anak mereka menjadi korban perundungan, dan lingkungan sosial menaruh curiga.

Beberapa desa di daerah Lamongan dan Malang bahkan sempat dijuluki sebagai “desa terpapar” karena ada lebih dari dua warga yang diketahui pergi ke luar negeri untuk bergabung dengan ISIS. Meski sebutan itu tidak resmi, label sosial tersebut menimbulkan tekanan psikologis bagi warga yang tidak bersalah.

Organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah turut aktif membantu pemerintah untuk melakukan pendekatan humanis, termasuk memberikan pendampingan bagi keluarga eks simpatisan agar bisa kembali diterima masyarakat.

“Deradikalisasi bukan hanya memutus ideologi, tapi juga memulihkan rasa percaya diri dan harapan hidup mereka yang pernah tersesat.”


Langkah Tegas Pemerintah dan Aparat

Sejak munculnya isu keterlibatan warga Jawa Timur dalam jaringan ISIS, pemerintah pusat dan daerah langsung mengambil langkah cepat. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) melakukan koordinasi lintas lembaga untuk memperketat pengawasan terhadap arus pergerakan manusia, terutama di bandara dan pelabuhan.

Selain itu, pemerintah Jawa Timur melalui Dinas Kominfo juga mengeluarkan peraturan untuk melarang penyebaran ajaran ISIS baik secara langsung maupun melalui media daring. Aparat Polda Jatim dan Densus 88 Anti Teror melakukan operasi terpadu untuk memetakan jaringan hingga ke akar rumput.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menegaskan bahwa pendekatan deradikalisasi tetap menjadi prioritas utama. Mereka tidak hanya menangani pelaku, tetapi juga berfokus pada pencegahan di masyarakat.

Program sosialisasi dilakukan di pesantren, sekolah, dan perguruan tinggi dengan menggandeng tokoh agama dan mantan napi teroris. Pendekatan ini dinilai efektif karena mengubah narasi ekstremisme dengan cara yang lebih manusiawi.

“Pencegahan ekstremisme tak bisa hanya melalui senjata dan hukum. Ia butuh dialog, pendidikan, dan rasa aman di tengah masyarakat.”


Tantangan Deradikalisasi di Lapangan

Meski banyak program telah dijalankan, tantangan di lapangan masih besar. Salah satunya adalah bagaimana menangani warga yang telah kembali dari Suriah dan ingin kembali berbaur dengan masyarakat.

Sebagian masyarakat masih menolak menerima mereka karena takut terpapar ideologi lama. Di sisi lain, para eks simpatisan ini sering kali mengalami trauma berat dan kehilangan arah hidup. Jika tidak dibimbing, mereka bisa kembali terjebak dalam lingkaran ekstremisme baru.

Beberapa LSM lokal di Surabaya dan Sidoarjo mulai aktif dalam rehabilitasi sosial, dengan memberikan pelatihan kerja, bimbingan agama moderat, serta konseling psikologis. Pemerintah juga mulai menggandeng lembaga zakat dan filantropi untuk mendukung kemandirian ekonomi eks napi terorisme.

“Mengembalikan kepercayaan masyarakat pada mereka sama pentingnya dengan mengembalikan mereka pada kehidupan normal.”


Keterlibatan Dunia Pendidikan dan Tokoh Agama

Peran dunia pendidikan sangat penting dalam upaya membentengi generasi muda dari ideologi radikal. Banyak sekolah dan pesantren di Jawa Timur kini memasukkan program pendidikan karakter dan toleransi dalam kurikulum mereka.

Tokoh-tokoh agama di berbagai kabupaten juga secara aktif memberikan khutbah dan ceramah tentang bahaya ajaran yang menyimpang. Pendekatan ini lebih diterima masyarakat karena bersumber dari figur yang dihormati.

Selain itu, lembaga dakwah digital di bawah naungan Kementerian Agama mulai gencar memproduksi konten positif di media sosial. Tujuannya agar ruang digital tidak lagi didominasi narasi ekstremis, tetapi diisi oleh pesan keislaman yang damai dan mencerahkan.

“Menang melawan terorisme berarti memenangkan hati dan pikiran generasi muda agar tidak mencari kebenaran di tempat yang salah.”


Faktor Kunci yang Harus Diperkuat

Dari berbagai temuan dan pengamatan, ada beberapa langkah penting yang harus segera diperkuat oleh pemerintah dan masyarakat:

  1. Pendidikan Kritis dan Literasi Digital : Anak muda perlu diajarkan untuk berpikir kritis dan mampu mengenali propaganda yang berbahaya di media sosial.
  2. Penguatan Ekonomi Lokal : Ketimpangan ekonomi menjadi salah satu pemicu mudahnya individu direkrut. Lapangan kerja yang luas bisa menekan risiko itu.
  3. Dialog Lintas Agama dan Komunitas : Membangun ruang dialog akan memperkuat toleransi serta memperkecil potensi perpecahan sosial.
  4. Pemantauan Media Sosial : Pemerintah harus bekerja sama dengan platform digital untuk memblokir akun penyebar kebencian dan paham radikal.
  5. Pendampingan Keluarga Eks Simpatisan : Agar reintegrasi sosial bisa berjalan mulus dan tidak menimbulkan ketegangan baru.

“Upaya melawan radikalisme bukan hanya perang ide, tapi perjuangan menjaga kemanusiaan agar tetap utuh di tengah gelombang propaganda.”


Harapan Baru dari Jawa Timur

Kini, setelah hampir satu dekade sejak fenomena perekrutan ISIS muncul, Jawa Timur perlahan bangkit dengan strategi yang lebih matang. Pemerintah daerah, ormas Islam, lembaga pendidikan, dan aparat keamanan mulai bekerja dalam satu visi: menjaga masyarakat agar tidak kembali terjerumus ke dalam jebakan ideologi kekerasan.

Kesadaran publik juga meningkat. Banyak komunitas muda yang kini aktif menyuarakan kampanye anti-radikalisme melalui media sosial dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa eks simpatisan bahkan kini menjadi narasumber yang berbagi pengalaman tentang bagaimana mereka tertipu oleh janji palsu ISIS.

Jawa Timur sedang berupaya keras untuk mengubah luka menjadi pelajaran, dan tragedi menjadi motivasi. Karena dalam setiap kisah kelam, selalu ada peluang untuk menanam benih baru yang lebih baik.

“Kita tidak bisa menghapus masa lalu, tapi kita bisa memastikan masa depan tidak mengulang kesalahan yang sama.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *