Industri Kecil dan Menengah (IKM) selama ini dikenal sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Namun di balik geliatnya, muncul kekhawatiran serius bahwa banyak IKM justru akan kesulitan bersaing di tengah arus globalisasi dan percepatan teknologi. Salah satu penyebab utamanya adalah domisili usaha yang berada di luar kawasan industri, sehingga mereka tidak mendapatkan akses terhadap infrastruktur, fasilitas, dan jejaring yang mendukung efisiensi produksi.
Bila persoalan ini tidak segera diatasi, maka bukan tidak mungkin sektor IKM akan terjebak pada lingkaran stagnasi. Banyak pengamat industri menilai bahwa posisi geografis dan kebijakan tata ruang menjadi faktor yang selama ini terabaikan, padahal efeknya sangat besar terhadap daya saing produk nasional.
“Bagi saya, lokasi bukan sekadar koordinat di peta, tapi fondasi awal keberlangsungan usaha. Di era industri cepat, jarak bisa berarti selisih hidup dan mati bagi bisnis kecil,” ujar seorang pelaku IKM asal Gresik yang kini kesulitan menembus pasar luar negeri akibat biaya logistik tinggi.
Kawasan Industri dan Pentingnya Akses Infrastruktur
Kawasan industri diciptakan bukan tanpa alasan. Pemerintah menyiapkannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, tempat berkumpulnya berbagai sektor dengan fasilitas pendukung terpadu. Di sana terdapat jaringan listrik stabil, pasokan air industri, sistem pengelolaan limbah, hingga akses transportasi langsung ke pelabuhan atau jalan tol.
Ketika suatu IKM beroperasi di luar kawasan industri, otomatis mereka kehilangan akses terhadap seluruh kemudahan tersebut. Banyak IKM yang harus membangun fasilitas sendiri dengan biaya tinggi, atau bergantung pada sumber energi yang tidak stabil. Kondisi seperti ini membuat harga produksi membengkak dan kecepatan produksi menurun.
Sebagai gambaran, satu pabrik konveksi kecil di Lamongan mengaku harus mengeluarkan biaya tambahan hingga 25 persen setiap bulan hanya untuk genset dan pengangkutan bahan baku. Bandingkan dengan industri serupa yang berlokasi di kawasan Gresik Industrial Estate, yang bisa menghemat energi karena mendapat pasokan listrik langsung dari jaringan kawasan.
Masalah Rantai Pasok dan Keterhubungan
Selain masalah infrastruktur, IKM yang berada di luar kawasan industri juga kehilangan kesempatan menjadi bagian dari rantai pasok besar. Di dalam kawasan industri, pelaku usaha kecil bisa dengan mudah bekerja sama dengan industri besar sebagai subkontraktor atau pemasok komponen.
Kedekatan lokasi memungkinkan proses produksi berjalan cepat, efisien, dan minim ongkos distribusi. Namun bagi IKM di luar kawasan, jarak yang jauh sering menjadi penghalang utama. Ketika biaya pengiriman tinggi dan waktu pengantaran lama, kepercayaan dari industri besar pun sulit diraih.
Kondisi ini akhirnya membuat banyak IKM terisolasi. Mereka hanya mengandalkan pasar lokal, padahal pasar lokal sering kali tidak cukup besar untuk menopang pertumbuhan usaha. “Tidak berada di dalam ekosistem industri ibarat berdiri di pinggir arus besar. Kita melihat kesempatan lewat begitu cepat, tapi tak sempat ikut hanyut,” ungkap salah satu pengrajin logam di Sidoarjo yang masih bertahan secara mandiri di luar kawasan industri.
Kesenjangan Teknologi dan Akses Pengetahuan
Di kawasan industri, pelaku usaha dapat memanfaatkan fasilitas pelatihan dan pusat riset yang disediakan pengelola kawasan atau pemerintah. Ada juga kegiatan bimbingan teknologi, peningkatan kualitas produk, hingga akses digitalisasi proses produksi.
IKM yang berdomisili di luar kawasan sering tidak mendapat akses semacam itu. Mereka harus mencari sendiri informasi, membayar mahal untuk pelatihan, atau bahkan berinovasi dengan cara coba-coba. Ketertinggalan inilah yang membuat IKM sulit mengikuti standar global seperti sertifikasi ISO, HACCP, atau SNI.
Padahal dalam era perdagangan bebas, standar mutu menjadi pintu utama untuk menembus pasar ekspor. Tanpa dukungan infrastruktur pelatihan dan pendampingan teknologi, banyak IKM akan terus berada pada level tradisional.
“Perkembangan industri digital menuntut efisiensi dan inovasi. Jika IKM tidak berada di lingkungan yang mendorong keduanya, maka sulit sekali untuk naik kelas,” tulis penulis dalam refleksinya tentang masa depan industri kecil di Indonesia.
Dampak Biaya Produksi dan Efisiensi
Biaya produksi menjadi salah satu indikator penting dalam daya saing. Lokasi di luar kawasan industri memaksa IKM menanggung berbagai pengeluaran tambahan seperti transportasi, sewa gudang, keamanan, hingga perizinan lingkungan yang harus diurus sendiri.
Sebagai contoh, sebuah usaha makanan ringan di Kabupaten Pasuruan mengaku harus mengeluarkan biaya Rp 8 juta per bulan hanya untuk pengangkutan bahan baku dan distribusi produk. Jika usaha itu berada di kawasan industri, biaya tersebut bisa ditekan hingga setengahnya karena efisiensi logistik.
Kondisi ini menimbulkan kesenjangan harga antara produk IKM luar kawasan dengan produk dari industri besar di kawasan industri. Akibatnya, IKM kesulitan bersaing di pasar modern, apalagi di platform e-commerce yang sangat sensitif terhadap harga.
Efisiensi produksi tak hanya soal mesin, tapi juga soal lokasi. Ketika infrastruktur dan distribusi berjalan lancar, pelaku usaha bisa fokus pada inovasi dan pemasaran, bukan terus berkutat dengan kendala dasar.
Hambatan Regulasi dan Legalitas Lokasi
Regulasi pemerintah sebenarnya mengatur bahwa kegiatan industri sebaiknya dilakukan di dalam kawasan industri agar pengendalian lingkungan dan tata ruang berjalan optimal. Namun karena banyak daerah belum memiliki kawasan industri memadai, akhirnya muncul toleransi bagi IKM untuk tetap beroperasi di luar kawasan.
Masalahnya, banyak IKM tidak memahami batasan tersebut. Akibatnya, ada yang terkendala perizinan lingkungan, sulit mendapatkan izin ekspor, atau bahkan tidak bisa memperluas usaha karena tidak sesuai zonasi tata ruang.
Sebagian pemerintah daerah juga belum punya kebijakan khusus untuk mengakomodasi IKM di luar kawasan. Tanpa regulasi yang jelas, pelaku usaha sering kali berada di “zona abu-abu” hukum, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian investasi.
Menurut data Kementerian Perindustrian, sekitar 70 persen IKM di Indonesia masih beroperasi di luar kawasan industri, sebagian besar tanpa panduan tata ruang yang jelas. Artinya, mayoritas pelaku usaha belum berada pada posisi ideal untuk tumbuh secara berkelanjutan.
Keterbatasan Modal dan Skala Ekonomi
Lokasi yang tidak strategis membuat banyak IKM kesulitan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan. Bank dan investor umumnya lebih percaya pada usaha yang beroperasi di kawasan industri karena dinilai lebih stabil dan terukur.
Selain itu, IKM di luar kawasan sulit mencapai skala ekonomi yang efisien. Mereka tidak bisa berbagi fasilitas produksi, gudang, atau pengolahan limbah bersama pelaku lain. Akibatnya, biaya satuan per produk menjadi lebih tinggi dibanding kompetitor di kawasan industri.
Dalam ekonomi pasar, skala produksi besar menghasilkan harga lebih rendah. Jika IKM tidak mampu mencapai skala itu, maka persaingan harga menjadi mustahil. Padahal konsumen saat ini sangat sensitif terhadap harga, terutama di segmen menengah bawah.
Dampak Sosial dan Ketimpangan Wilayah
Fenomena IKM di luar kawasan industri bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga berdampak sosial. Banyak pelaku usaha kecil di pedesaan merasa tertinggal karena fasilitas industri hanya berpusat di kota besar.
Ketimpangan ini menciptakan jurang kesejahteraan baru antara pelaku IKM yang mendapat akses kawasan industri dan yang tidak. Muncul pula migrasi tenaga kerja terampil dari daerah ke kawasan industri besar, meninggalkan desa dengan produktivitas rendah.
Jika tidak segera diantisipasi, maka cita-cita pemerataan ekonomi berbasis IKM hanya akan menjadi jargon. Pemerintah perlu menghadirkan solusi yang berpihak pada pelaku usaha di luar kawasan industri agar mereka tetap punya peluang yang sama untuk berkembang.
Peran Pemerintah dan Kebijakan Dukungan
Kementerian Perindustrian sebenarnya telah merancang sejumlah program untuk menguatkan IKM, di antaranya pembangunan Sentra IKM yang menjadi cikal bakal kawasan industri kecil di daerah. Sentra ini dirancang agar pelaku IKM bisa berbagi fasilitas bersama tanpa harus pindah ke kawasan industri besar.
Program lainnya adalah fasilitasi mesin dan peralatan produksi, bimbingan teknis, serta pelatihan digitalisasi. Pemerintah daerah pun diminta berperan aktif menyediakan lahan bagi IKM, minimal dengan menciptakan zona industri kecil di tingkat kabupaten.
Namun tantangan utama masih pada pelaksanaan. Banyak daerah belum memiliki perencanaan tata ruang industri yang jelas, sehingga sulit menentukan lokasi strategis bagi IKM. Tanpa kebijakan tegas, IKM akan terus tersebar tanpa arah dan sulit bersaing.
Sinergi dengan Industri Besar
Agar tidak semakin tertinggal, IKM di luar kawasan industri perlu didorong agar bisa bermitra dengan industri besar. Kemitraan bisa berbentuk subkontrak, pemasok bahan baku, atau kolaborasi dalam inovasi produk.
Bila rantai pasok terbentuk dengan baik, lokasi bukan lagi penghalang utama. Sebagai contoh, beberapa IKM di Jawa Tengah berhasil bekerja sama dengan perusahaan otomotif nasional dengan memanfaatkan sistem digital supply chain. Walau berada di luar kawasan industri, mereka tetap bisa memasok komponen tepat waktu berkat dukungan teknologi informasi.
Pendekatan kolaboratif seperti ini bisa menjadi model baru bagi pengembangan IKM ke depan. Pemerintah perlu menjembatani kemitraan tersebut melalui program inkubasi dan fasilitasi pertemuan bisnis.
Tantangan di Era Digitalisasi
Selain urusan lokasi, tantangan baru bagi IKM adalah transformasi digital. Banyak pelaku usaha di luar kawasan industri belum siap menghadapi sistem produksi berbasis digital karena keterbatasan internet dan kemampuan teknologi.
Di kawasan industri, pelaku usaha dapat mengakses jaringan internet cepat dan fasilitas digitalisasi yang disediakan pengelola kawasan. Sementara IKM di pedesaan harus menghadapi sinyal lemah dan biaya internet tinggi.
Padahal, pasar global kini menuntut transparansi produksi, ketertelusuran bahan baku, hingga sistem pemasaran daring. Tanpa digitalisasi, IKM akan semakin sulit menembus pasar internasional.
“Saat dunia berlari di lintasan digital, IKM di luar kawasan industri masih berjalan di jalan tanah. Itu bukan karena mereka malas, tapi karena lintasannya memang belum rata,” tulis penulis dalam refleksi tentang ketimpangan teknologi industri kecil.
Solusi dan Harapan ke Depan
Untuk menjawab persoalan ini, perlu langkah konkret dan terarah. Pemerintah harus segera memetakan lokasi IKM di luar kawasan industri dan memberikan prioritas pembangunan infrastruktur dasar di wilayah tersebut.
Selain itu, dibutuhkan insentif bagi IKM yang bersedia relokasi ke kawasan industri atau bergabung dalam klaster industri kecil. Pemerintah daerah dapat memberikan keringanan pajak, bantuan lahan, atau fasilitas pembiayaan untuk mempercepat prosesnya.
Lembaga pendidikan dan universitas pun perlu dilibatkan dalam pembinaan teknologi dan inovasi. Melalui kolaborasi, IKM bisa mendapatkan akses pengetahuan yang selama ini hanya dinikmati industri besar.
Sementara bagi pelaku IKM sendiri, diperlukan kesadaran baru bahwa lokasi usaha bukan hanya soal harga tanah murah, melainkan tentang potensi pertumbuhan jangka panjang.
“Jangan lagi berpikir lokasi jauh dari kota itu aman dan murah. Dalam bisnis, jarak yang salah bisa membuat kita kehilangan seluruh peluang masa depan,” begitu penulis menegaskan dalam catatan lapangannya saat mengunjungi sentra IKM di luar kawasan industri di Jawa Timur.






